SEJARAH ULUMUL HADIS


SEJARAH PERKEMBANGAN ULUMUL HADIS

A.PENDAHULUAN
Kita ketahui  bahwasanya hadis merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah al-qur’an. Keberadaan hadis disamping telah mewarnai masyarakat  dalam kehidupan juga  telah menjadi bahasan kajian yang menarik.Hadis mengan dung  makna dan ajaran  serta memperjelas ajaran al-qur’an dan lain sebagainya. Para peneliti dan ahli  hadis  telah berhasil  mendokumentasikan hadis baik kepada kalangan masyarakat, akademis,penelitian hadis tersebut telah  membuka peluang untuk mewujudkan  suatu kajian  disiplin islam, yaitu bidang study  Ulumul Hadis.
Sebagai sumber ajaran Islam, Hadis berbeda dengan Alquran. Alqur’an periwayatannya tidak pernah dipermasalahkan oleh umat Islam. Seluruh ayatnya terhimpun dalam mushaf dan tidak pernah mengalami perubahan, baik pada zaman Nabi saw maupun sesudahnya. Karenanya, penelitian terhadap Alqur’an hanya berfokus pada kandungan dan aplikasinya. Sedangkan untuk Hadis yang dikaji tidak hanya kandungan dan aplikasinya, tetapi juga periwayatannya. Hal ini disebabkan karena Alqur’an itu memang langsung ditulis oleh para sahabat Nabi saw yang dipercaya, sedangkan Hadis nanti sekitar ± 90 tahun meninggalnya Nabi saw, baru ada usaha untuk menulisnya, membukukannya dan mengkodifikasikannya secara sistematis.
Maka dalam artikel ini, penulis akan menyajikan tentang “SEJARAH PERKEMBANGAN ULUMUL HADIS”, dan semoga dengan adanya penulisan artikel sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penulis, Amin.

A.PENGERTIAN ULUMUL HADIS
 Kata ثيذحلا مولع terdiri dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu kata مولع dan kataثيذحلا.Kataمولع merupakan bentuk jama’ dari kata نلع yang berarti نيقيلا (keyakinan) dan ةفرعولا (pengetahuan).10نلع diartikan juga sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya ia dapat menemukan atau mengetahui sesuatu.  Sedang kataثيذحلا diartikan oleh para ulama sebagai segala yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat-sifatnya.
 Penyebutan dan penggunaanثيذحلا نلعdalam bentukjama’ثيذحلا  مولع karena ilmu hadis terdiri atas berbagai macam ilmu yang jumlah banyak seperti نلع ,ثيذحلا دورولا باثسأ نلع ثيذحلا لاجر نلع ,ثيذحلا ةيرغلا dan lain sebagainya. Dari pengertian di atas, ilmu hadis dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala yang disan- darkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat-sifat-nya. Ulama mmutaqaddimīn mendefinisikan ilmu hadis sebagai berikut:
Artinya: Ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara-cara persambungan hadis sampaikepada Rasulullah saw. dari segi mengetahui hal ikhwal para periwayat- nya, menyangkut ke-dābit-nya dan keadilannya, dan dari segi tersambung atau terputusnya sanad.[1]
Secara leksikal, kata Hadis bermakna al-Khabar (berita), al-jadid (yang baru), atau setiap apa yang diceritakan baik pembicaraan atau khabar.5 Bila kata Hadis diperhadapkan pada etimologi (asal-usul kata), lafaz ثدح dapat berarti al- kalam (pembicaraan), al waq’u (kejadian), Ibtada’a (mengadakan), al-sabab (sebab), rawa (meriwayatkan) dan al-qadim (lawan dari yang lama).
Secara terminologi, ulama Hadis mendefenisikan sebagai segala perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi saw baik sebelum atau sesudah diutusnya.7 Sedangkan ulama usul membatasi sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan (taqrir) yang dinisbatkan kepada Nabi saw yang berkaitan dengan segala hukum syara’.
Bila melihat sisi perbedaan antara pendefenisian ulama Hadis dan usul tersebut, tampaknya ulama usul menitik beratkan obyek hukum dari Hadis itu yakni berkaitan dengan hukum syara’ tanpa melihat latar belakang dan keterkaitan status kenabian Muhammad saw. sementara ulama Hadis melihat pengertian terminologi Hadis dalam peran Rasulullah saw, baik sebelum atau sesudah diutusnya. Tinjauan umum makna Hadis ini dibatasi dengan catatan bahwa bilahanya disebut Hadis, maka dimaksudkan sebagai segala perkataan, perbuatan dan taqrir setelah kenabian.[2]
Ulum Hadis yang substansinya terdiri atas Ilmu Hadis Dirayah dan Riwayah memiliki cabang yang menurut sebagian ulama telah mencapai 60-an jenis. Bahkan setelah itu berkembang lagi sehingga menjadi 90-an jenis.27 Adapun cabang Ulum Hadis yang termasyhur dan diperpegangi para muhaddisin selama ini adalah berjumlah tujuh jenis, yakni:
1. Ilmu Rijal Hadis, yang menerangkan para periwayat Hadis, baik dari sahabat, tabi’in dan tabaqah-tabaqah selanjutnya. Diantara kitab-kitab yang membahas masalah ini adalah al Isti’ab karya Ibnu Abdil Barr dan Usul al Ghabah karya Izzuddin Ibu Asir.
2. Ilmu Jarh wa al-Ta’dil, yang menerangkan tentang keaiban dan keadilan seorang periwayat Hadis. Kitab yang terkenal membahas masalah ini adalah kitab Tabaqat karya Muhammad Ibn Sa’ad al-Zuhry al-Basri.
3. Ilm Gharib al- Hadis, yang menerangkan makna-makna atau kalimat yang sukar dipahami dalam matan Hadis. Kitab yang membahas masalah ini adalah al Faiq fi Gharib al Hadis karya al Zamakhsyari dan al Nihayah fiy Garab al-Hadis, karya Majd al-Din Ibn Asir.
4. Ilm Ilal al-Hadis, yang menerangkan tentang sebab-sebab yang tersembunyi (tidak nyata) yang dapat mencacatkan Hadis. Kitab yang membahas masalah ini adalah ‘Ilal al_Hadis karya Ibn Abi Hatim.
5. Ilm Nasikh wa al-Mansukh, yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah dihapus, dalam arti (hadis-hadis) yang tidak relevan untuk diamalkan saat ini, tetapi ditemukan Hadis lain sebagai alternative pengganti. Kitab yang membahas masalah ini adalah al-I’tibar karya Muhammad Ibn Musa al- Hazimiy.
6. Ilm Asbab al Wurud al Hadis, yang menerangkan tentang latar belakang disabdakan Hadis-hadis oleh Nabi saw. kitab yang membahas masalah ini adalah al-Bayan wa al-Ta’rif karya Ibn Hamzah al-Husayni.
7. Ilmu Talfiq al-Hadis atau disebut juga Ilm Mukhtalaf al-Hadis, yang menerangkan tentang cara mengumpulkan antara Hadis-hadis yang berlawanan pada zahirnya. Kitab yang membahas masalah ini adalah Mukhtalif al-Hadis karya Imam Syafi’i.
Berdasar dari klasifikasi Ulum Hadis diatas, maka secara ontologism ia merupakan sebuah cabang ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada pembahasan secara mendalam dan sistematis terhadap Hadis-hadis, serta pembuktiannya terhadap kevalidan Hadis-hadis itu sendiri.[3]
  
B.Perkembangan Ulumul Hadis Pada Priode Klasik, Pertengahan, Modren
          Pelopor pembaharuan dalam ilmu ini adalah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafizh al-Ushuli Abu ‘Amr Utsman bin ash-Shalah (w. 643 H), beliau telah menyusun kitab yang dinilai paling mencakup dalam bahasan ilmu hadis yang ditulis pada masa itu adalah ‘Ulum al-Hadis yang kemudian kitab ini lebih dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah. kitab tersebut mencakup keterangan-keterangan yang terdapat diberbagai kitab sebelumnya dan mencakup seluruh cabang ilmu hadis.
          Usaha-usaha yang ditempuh oleh ulama-ulama dalam masa yang ketujuh ini ialah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaring dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hukum, mentakhrijkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrijkan hadis-hadis yang terkenal dalam masyarakat, mensyarahi dan meringkas kitab yang sudah ada sebelumnya, serta menyusun kitab Athraf. Dan pada periode ini disusun kitab-kitab Zawa’id yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu. Selain itu, pada masa ini juga pembelajaran Hadits hanya bersifat pengembangan terhadap periwayatan atau pengembangan atas pembelajaran hadits terdahulu saja, seperti halnya pada syarh, mukhtashar, kitab petunjuk, dan kitab terjemah hadits.
Perkembangan Hadits Pada Era Klasik
Khazanah studi hadis pada masa pra kontemporer, mulai merambah pada sebuah disiplin ilmu yang mapan. Berkembangnya studi hadis pada masa ini disebabkan dengan munculnya beragam disiplin-disiplin keilmuan baru yang bersinggungan dengan budaya serta bangsa lain yang telah mendorong upaya pembukuan masing-masing disiplin ilmu itu sendiri. Dari sini setidaknya dapat diketahui bahwa pada masa ini terdapat dua pembagian dalam ilmu hadis, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah. Dalam prakteknya ilmu hadis riwayah fokus pada proses transmisi hadis, pemeliharaan dalam hafalan, serta penyampaian pada orang lain, baik itu secara oral maupun tulisan, atau bisa dikatakan riwayat yang prosesnya lebih bersifat deskriptif. Sedangkan pada ilmu hadis dirayah, ilmu hadits lebih menekankan pada kualtas perawi hadits, apakah hadits tersebut diterima ataupun di tolak. Dari sini maka setelah itu munculah cabang keilmuwan hadis lainya, seperti Ilmu Rijal hadis, Ilmu Jarh wa Ta’dil, Ilmu Fan al-Mubhama, Ilmu ilal hadis, Ilmu Gharib hadis, Ilmu Nasikh wa Mansukh, Ilmu Talfiq al- hadis, Ilmu Tashif wa Tahrif, Ilmu Asbabul Wurud Hadis, Ilmu Mustalahul al-Hadis.[4]
Perkembangan Hadits di era Pertengahan
Sebelum beranjak lebih dalam, penulis akan sedikit mengulas tentang sejarah penamaan dekade kontemporer. Kata kontemporer merupakan penisbatan pada zaman. Dalam kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary dijelaskan, ada dua pengertian dari contemporary. Pertama belonging to the same time (termasuk waktu yang sama), dan yang kedua, of the present time; modern (waktu sekarang atau modern). Dalam bahasa Indonesia, kontemporer adalah pada masa kini. Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan periode kontemporer ialah sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.
Pada awal masa periode ini, perkembangan studi hadits hanya berkutat biasa saja tanpa adanya sebuah kemajuan, hal ini mungkin yang menjadi penyebabnya ialah dominasi masyarakat Islam kala itu sudah terhegemoni dengan budaya eropasentris, sehingga umat Islam masih saja bersikap pasif terhadap kajian hadits. Berulah pada abad ke 20, beberapa ulama kalangan Timur Tengah, seperti Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh sempat geger dengan menggembar-gemborkan pembaharuan mereka untuk menganjurkan umat Islam agar “kembali kepada al-Quran dan Sunnah” dengan kemasan modernisnya, dan sejak aksi tokoh pembaharu tersebut akhirnya beberapa kalangan sepakat untuk kembali pada konsep al-Quran Hadits hingga muncul beberapa karya yang menganjurkan untuk kembali kepada al-Quran dan Hadits. Sejak itulah akhirnya hadits mulai mendapatkan perhatian sendiri hingga kajian hadits menempati posisi kajian yang sangat penting. Sehingga pasca setelah itu, studi hadits kembali berkembang di era ini, bahkan kritik pada hadis sudah merambah dari berbagai hal, bahkan kritik tidak hanya dari para muhaddits maupun sarjana muslim, melainkan para orientalis (barat) juga geram ikut ambil dalam hal ini, Hal ini terbukti pengkaji hadis dikalangan muslim banyak bermunculan, seperti Muhammad al-Ghazali, Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Muhammad Syahrur, Mustafa al-Azami, dan Fazlur Rahman, mereka mencoba mengembangkan dan mengkritisi pemikiran tentang hadis. Sedangkan dikalangan non muslim muncul seperti Sprenger, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, ini merupakan bukti bahwa kajian pemikiran hadis mendapat respon yang sangat luar biasa dan senantiasa dikaji.
keempat berisi kompilasi Hadis yang digunakan sebagai sumber hukum. Namun demikian, seperti pengamatan Federspiel, teks-teks tersebut dilihat dari sisi content tidaklah memuat hal-hal baru. Isinya hanya repetasi dari apa yang pernah dipelajari pada masa-masa sebelumnya. Selain dari sisi isi tidak memuat hal- hal baru, juga belum membahas kritik hadis secara tuntas. Teori kritik hadis yang dikemukakan hanya mencakup kritik sanad dan matn yang diarahkan untuk mengetahui secara teoritis belaka tingkat autentisitas dan validitas Hadis. Sedangkan pengembangan kritik matn yang diarahkan untuk fiqh al-hadith (interpretasi Hadis) belum mendapat perhatian.
Hadits memasuki di era Modren
Melihat perkembangan Hadits di era sebelumnya yang tidak begitu signifikan, maka perkembangan hadits mulai di galakan kembali oleh para ilmuwan hadits dengan sebuah kemasan menarik, hal inilah yang membuat para ilmuan hadits ingin memasukan kajian hadits dalam era digital hal ini guna mengembangkan studi hadits di era yang sudah memasuki globalisasi, dengan mengembangkan keberadaan internet maka tampak hadits akan terlihat menarik, hal ini sebagaimana melihat manfaat internet yang dapat mempermudah tata kerja dan mempercepat suatu proses suatu pekerjaan, sehingga segala sesuatu dapat ditemukan dengan cara praktis dan cepat.
Perlu diketahui di era yang serba global tersebut kita sebenarnya bisa memanfaatkan beberapa literatur kajian hadits yang sudah digital slah satu contohnya ialah sofware digital jawami’ul kalem atau Islamweb.org.com, sebenarnya telah lama didirikan oleh lembaga departemen Agama dan Wakaf kementerian Qatar, lembaga ini sudah berdiri sejak tahun 1998. Islamweb.org ini berisi banyak kolom, diantaranya fatwa, multimedia, ensiklopedi, dan lain sebagainya. Yang menjadi menarik dari web ini ialah dapat memproyeksikan penelusuran hadits dengan sangat mendalam mulai dari kualitas hadits hingga penyebaranya.[5]
Metode-metode pemahaman hadis Nabi saw yang sebagiannya merupakan cabang-cabang `ulumul hadis adalah, pendekatan tekstual dan kontekstual, pendekatan lafzi dan maknawi, pendekatan risalah dan non risalah, pendekatan ‘ilal hadis, pendekatan nasikh wa mansukh, dan pendekatan ilmu gharib hadis (pemahaman mufradat yang sulit dipahami).
Penggunaan berbagai pendekatan dalam syarah-syarah terhadap hadis hasil pengujian dan pengumpulan imam al- Bukhari yang bernilai sangat tinggi itu dilakukan oleh Ibn Hajar untuk mengungkap tabir ketidaktahuan, kesulitan dan kesamaran umat Islam terhadap hadis-hadis Nabi saw. Ia telah menempati posisi dewa Hermes dalam sejarah hermeneutik, sebagai dewa penterjemah pesan tuhan kepada manusia. Memang orang `alimlah yang mampu dan lebih berhak menyingkap kebenaran agama yang dibawa oleh para rasul Allah karena rentang waktu pembawa dan pengucap pesan-pesan agama telah cukup lama berselang. Antara Nabi Muhammad saw dan imam al-Bukhari berselang tiga abad dan antara imam al-Bukhari dengan Ibn Hajar juga berselang tidak kurang dari tiga abad lamanya.
 Secara hermeneutik (komposisi bahasa dan keluasan pengungkapannya), Ibn Hajar al-`Asqalani memahami dan mensyarah hadis-hadis dari kitab Sahih al-Bukhari tidaklah bertumpu kepada pendekatan bahasa saja, tetapi juga kepada pendekatan usul fiqh, ulumul hadis seperti ilmu rijal al-hadis, tawarikh al-mutun, asbab wurud hadis dan pendekatan sejarah. Pendekatan bahasa dan ulumul hadis adalah terlihat sangat dominan dalam setiap syarahannya. Hal ini sejalan dengan bidang keahliannya sebagai seorang ulama hadis yang cukup tinggi predikatnya, al-hafiz, ulama yang mampu menghafal lebih dari 100.000 hadis secara sanad dan matannya. Oleh karena itu, dalam ia mensyarah satu masalah, ia utarakan setiap hadis terkait dari berbagai jalur perawi yang ada (fiqh al-hadith mawdhu`i) dan mendudukkannya secara secara proporsional. [6]
Sebagaimana penulis, sebutkan di atas bahwa konflik sosial politik yang memicu perpecahan umat muslimin telah mengancam kemurnian dan keaslian hadis. Sebab pada masa ini telah terdapat para pemalsu hadis yang dengan sengaja memanipulasi hadis dengan alasan-alasan yang bersifat personal atau kepentingan golongan, seperti ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini telah muncul hadis palsu tentang kelebihan empat khalifah, kelebihan ketua-ketua kelompok, kelebihan ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci kelompok-kelompok agama tertentu. Disamping pemalsu hadis tersebut dilakukan oleh orang Islam, Orang- orang non muslim juga melakukan pemalsuan hadis karena keinginan untuk meruntuhkan Islam.
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik hadis adalah suatu upaya untuk menyeleksi kehadiran hadis, memberikan penilaian dan membuktikan kemurnian dan keaslian sebuah hadis. Upaya ini juga berarti mendudukkan hadis sebagai hal yang sangat penting sebagai sumber hukum Islam kedua, itulah bukti kehati-hatian kita. Upaya ini juga sebagai upaya untuk memahami hadis dengan tepat dalam mengamalkan isi dari hadis tersebut.[7]
Ulumul hadis adalah bagian yang sangat penting baik dalam menentukan kualitas hadis maupun dari segi kuantitasnya. Dalam tinjauan sejarah, sebelum Islam asal usul sanad telah digunakan oleh agama Yahudi atau terdapat dalam kitab yahudi, Mishnah, termasuk masyarakat Jahiliyah dalam menuturkan silsila dan syair-syair mereka juga menggunakan metode sanad meskipun tidak jelas sejauh mana metode itu diperlukan. Namun setelah Islam datang sanad dalam hadis jauh lebih metodologis dalam penggunaan periwayatan hadis. Pernyataan ini telah di tahqiq oleh para ulama hadis “ Sanad hadis merupakan bagian dari agama.[8]
Penyebarluasan Periwayatan Hadis
Tindakan yang dilakukan Nabi untuk memelihara Sunnah:
a)    Mendirikan Lembaga Pendidikan Lembaga pendidikan didirikan oleh Nabi di Madinah sesaat setelah kedatangan beliau disana. Kebijaksanaan umumnya adalah untuk mengirimkan para guru dan penceramah ke berbagai wilayah yang beragam di luar kota mekah. Sebagai contoh delegasi yang dikirimkan ke Adhal dan Qara pada tahun 3 H, ke Bir Ma’unah tahun 4 H, keNajran dan Yaman serta Hadramaut tahun 9 H.
b)   b) Mengarahkan untuk Menyebarkan Ilmu Pengarahan Nabi tentang penyebarluasan ilmu pengetahuan Nabi bersabda, “Sampaikanlah sesuatu dariku walaupun satu ayat,” penekanan yang sama dapat ditangkap dalam pidato beliau saat haji Wada’, di mana Nabi bersabda “Siapa yang hadir di sini harus menyampaikan segala pesan keagamaan kepada mereka yang berhalangan hadir saat ini. Oleh sebab itu merupakan kebiasaan para sahabat menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang mereka serap dari Nabi kepada yang kebetulan tidak mengetahuinya. c) Memberikan Janji Pahala pada Guru dan Murid Nabi menyatakan bahwa belajar dan
c)    mengajarkan ilmu pengetahuan merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang muslim. Barangsiapa yang keluar melangkahkan kakinya untuk menuntut ilmu Allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju syurga dan para malaikat akan mengepakkan sayapnya dalam keadaan yang menyenangkan bersama orang yang menimba ilmu, bahkan seluruh makhluk di langit dan di bumi memintakan maaf untuknya bahkan ikan yang ada dilaut. Begitu juga untuk si pemberi ilmu Nabi bersabda “Apabila anak bani Adam meninggal dunia akan terputus segalanya darinya kecuali tiga perkara: Sadaqah jariah, ilmu yang selalu dimanfaatkan dan doa seorang anak yang shaleh.[9]
Berdasarkan uraian pemahaman Sunnah dalam perspektif Muhammad Syahrur di atas, kini penulis akan mengkaji bagaimana kontribusi pemahaman Sunnah Muhammad Syahrur bagi pengembangan ilmu hadis sekarang dan untuk masa akan datang. 1. Melakukan rasionalisasi terhadap matan/teks hadis Untuk melihat kontribusi pemahaman Sunnah Muhammad Syahrur bisa kita rujuk kembali bagaimana Muhammad Syahrur membangun landasan berpikir untuk memperkuat pemahamannya tentang Sunnah. Muhammad Syahrur mengatakan bahwa hadis atau sunnah bukanlah bagian dari wahyu bahkan dia mengatakan bahwa nabi Muhammad tidak mempunyai hak untuk menetapkan syariat berdasarkan Alquran. Dia mengatakan sunnah Nabi adalah pembatasan terhadap yang mutlak dan pemutlakan terhadap hal yang dibatasidalam wilayah yang diperbolehkan dan bahwa pembatasan dan pemutlakan tersebut menggambarkan dimensi pembentukanbagi laju pertumbuhan dan perkembangan dalam masyarakat dalam bingkai umum yang membatasi wilayah halyang di larang dan wilayah yang di perbolehkan. Dari pendapat Muhammad Syahrur ini penulis melihat semangatnya untuk merasionalisasi hadis-hadis yang bertentangan dengan akal sehat manusia bahkan saking semangatnya Syahrur menolak hadis-hadis bermuatan hal-hal yang gaib walaupun termaktub dalam kitab induk hadis paling sahih seperti Kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Hal inilah yang membuat mayoritas umat Islam menolak konsep pemahamnnya ini.[10]

DAFTAR PUSTAKA
Ezra, Michael. “Muhammad Ali.” TAHDIS Vol 7, no. No 1 (2016): hlm.52-63.
Husna, Nurul. “Hadis Adalah Salah Satu Pedoman Hidup Manusia Setelah Alquran , Sebagai Mana Diketahui Bahwa Seseorang Tidak Bisa Memahami Alquran Secara Terperinci Semua Ini Dikenal Dengan Nama Hadis . Hadis Juga Merupakan Sumber Hukum Kedua Setelah Alquran , Akan Tetap.” Ilmu Hadis Vol 1, no. No 2 (2018): hlm.267-280.
Maulana, Luthfi. “PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital ).” ESENSIA Vol 17, no. No 1 (2016): hlm.111-123.
“PROBLEMATIKA HADIS DAN ‘ULŪMUL HADĪS,” 2017.
“Sunusi Masa Depan Hadis & Ulum Hadis MASA DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS Oleh: Sunusi.” Al Hikmah Vol. Vol XIV, no. No 2 (2013): hlm.55-70.
Ushuluddin, Fakultas, Iain Raden, and Intan Lampung. “KRITIK HADITS DI KALANGAN ILMUWAN HADITS ERA KLASIK DAN ILMUWAN HADITS ERA MODERN (Tokoh, Parameter, Dan Contohnya).” Al-Dzikra Vol 9, no. No 1 (2015): hlm.58-79.
Yahya, Agusni. “PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PEMAHAMAN HADIS (Kajian Kitab Fath Al-Bari Karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani).” Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies Vol 1, no. No 2 (2014): hlm.365-386. https://doi.org/10.20859/jar.v1i2.23.
И.В.Иванов, О.В.Ковалишина, О.Р.Швабский. “PEMAHAMAN SUNNAH DAN PENGEMBANGAN ILMU HADIS.” MIYAH, Vol 13, no. No 02 (2017): hlm.227-248.



[1] “PROBLEMATIKA HADIS DAN ‘ULŪMUL HADĪS,” Pendidikan Studi Islam Vol 3, No 2( 2017):hlm.168-177.
[2] “Sunusi Masa Depan Hadis & Ulum Hadis MASA DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS Oleh: Sunusi,” Al Hikmah Vol XIV, No 2 (2013): hlm.55-70.
[3] “Sunusi Masa Depan Hadis & Ulum Hadis MASA DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS Oleh: Sunusi.”Al Hikmah Vol XIV,  No 2 (2013): hlm.55-70.

[4]Luthfi Maulana, “PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital ),” ESENSIA Vol 17, no. No 1 (2016): hlm.111-123.
[5] Maulana.
[6]Agusni Yahya, “PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PEMAHAMAN HADIS (Kajian Kitab Fath Al-Bari Karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani),” Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies Vol 1, no. No 2 (2014): hlm.365-386, https://doi.org/10.20859/jar.v1i2.23.
[7]Fakultas Ushuluddin, Iain Raden, and Intan Lampung, “KRITIK HADITS DI KALANGAN ILMUWAN HADITS ERA KLASIK DAN ILMUWAN HADITS ERA MODERN (Tokoh, Parameter, Dan Contohnya),” Al-Dzikra Vol 9, no. No 1 (2015): hlm.58-79.
[8] Michael Ezra, “Muhammad Ali,” TAHDIS Vol 7, no. No 1 (2016): hlm.52-63.
[9]Nurul Husna, “Hadis Adalah Salah Satu Pedoman Hidup Manusia Setelah Alquran , Sebagai Mana Diketahui Bahwa Seseorang Tidak Bisa Memahami Alquran Secara Terperinci Semua Ini Dikenal Dengan Nama Hadis . Hadis Juga Merupakan Sumber Hukum Kedua Setelah Alquran , Akan Tetap,” Ilmu Hadis Vol 1, no. No 2 (2018): hlm.267-280.
[10]О.Р.Швабский И.В.Иванов, О.В.Ковалишина, “PEMAHAMAN SUNNAH DAN PENGEMBANGAN ILMU HADIS,” MIYAH, Vol 13, no. No 02 (2017): hlm.227-248..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGERTIAN HADIS, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR