SEJARAH ULUMUL HADIS
SEJARAH PERKEMBANGAN ULUMUL HADIS
A.PENDAHULUAN
Kita
ketahui bahwasanya hadis merupakan
sumber ajaran islam yang kedua setelah al-qur’an. Keberadaan hadis disamping
telah mewarnai masyarakat dalam
kehidupan juga telah menjadi bahasan
kajian yang menarik.Hadis mengan dung
makna dan ajaran serta
memperjelas ajaran al-qur’an dan lain sebagainya. Para peneliti dan ahli hadis
telah berhasil mendokumentasikan
hadis baik kepada kalangan masyarakat, akademis,penelitian hadis tersebut
telah membuka peluang untuk
mewujudkan suatu kajian disiplin islam, yaitu bidang study Ulumul Hadis.
Sebagai
sumber ajaran Islam, Hadis berbeda dengan Alquran. Alqur’an periwayatannya
tidak pernah dipermasalahkan oleh umat Islam. Seluruh ayatnya terhimpun dalam
mushaf dan tidak pernah mengalami perubahan, baik pada zaman Nabi saw maupun
sesudahnya. Karenanya, penelitian terhadap Alqur’an hanya berfokus pada
kandungan dan aplikasinya. Sedangkan untuk Hadis yang dikaji tidak hanya
kandungan dan aplikasinya, tetapi juga periwayatannya. Hal ini disebabkan
karena Alqur’an itu memang langsung ditulis oleh para sahabat Nabi saw yang
dipercaya, sedangkan Hadis nanti sekitar ± 90 tahun meninggalnya Nabi saw, baru
ada usaha untuk menulisnya, membukukannya dan mengkodifikasikannya secara
sistematis.
Maka
dalam artikel ini, penulis akan menyajikan tentang “SEJARAH PERKEMBANGAN ULUMUL
HADIS”, dan semoga dengan adanya penulisan artikel sederhana ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penulis, Amin.
A.PENGERTIAN ULUMUL HADIS
Kata ثيذحلا
مولع
terdiri dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu kata مولع
dan kataثيذحلا.Kataمولع
merupakan bentuk jama’ dari kata نلع
yang berarti نيقيلا (keyakinan) dan ةفرعولا
(pengetahuan).10نلع diartikan juga
sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya ia
dapat menemukan atau mengetahui sesuatu. Sedang kataثيذحلا
diartikan oleh para ulama sebagai segala yang disandarkan kepada Nabi saw. baik
berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat-sifatnya.
Penyebutan dan penggunaanثيذحلا
نلعdalam
bentukjama’ثيذحلا مولع
karena ilmu hadis terdiri atas berbagai macam ilmu yang jumlah banyak seperti نلع
,ثيذحلا
دورولا
باثسأ
نلع
ثيذحلا
لاجر
نلع
,ثيذحلا
ةيرغلا
dan lain sebagainya. Dari pengertian di atas, ilmu hadis dapat diartikan
sebagai ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala yang disan- darkan
kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat-sifat-nya.
Ulama mmutaqaddimīn
mendefinisikan ilmu hadis sebagai berikut:
Artinya:
Ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara-cara persambungan hadis
sampaikepada Rasulullah saw. dari segi mengetahui hal ikhwal para periwayat-
nya, menyangkut ke-dābit-nya dan keadilannya, dan dari segi tersambung atau
terputusnya sanad.[1]
Secara
leksikal, kata Hadis bermakna al-Khabar (berita), al-jadid (yang baru), atau
setiap apa yang diceritakan baik pembicaraan atau khabar.5 Bila kata Hadis
diperhadapkan pada etimologi (asal-usul kata), lafaz ثدح
dapat berarti al- kalam (pembicaraan), al waq’u (kejadian), Ibtada’a
(mengadakan), al-sabab (sebab), rawa (meriwayatkan) dan al-qadim (lawan dari
yang lama).
Secara
terminologi, ulama Hadis mendefenisikan sebagai segala perkataan, perbuatan dan
taqrir yang disandarkan kepada Nabi saw baik sebelum atau sesudah diutusnya.7
Sedangkan ulama usul membatasi sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan
(taqrir) yang dinisbatkan kepada Nabi saw yang berkaitan dengan segala hukum
syara’.
Bila
melihat sisi perbedaan antara pendefenisian ulama Hadis dan usul tersebut,
tampaknya ulama usul menitik beratkan obyek hukum dari Hadis itu yakni
berkaitan dengan hukum syara’ tanpa melihat latar belakang dan keterkaitan
status kenabian Muhammad saw. sementara ulama Hadis melihat pengertian
terminologi Hadis dalam peran Rasulullah saw, baik sebelum atau sesudah
diutusnya. Tinjauan umum makna Hadis ini dibatasi dengan catatan bahwa bilahanya
disebut Hadis, maka dimaksudkan sebagai segala perkataan, perbuatan dan taqrir
setelah kenabian.[2]
Ulum
Hadis yang substansinya terdiri atas Ilmu Hadis Dirayah dan Riwayah memiliki
cabang yang menurut sebagian ulama telah mencapai 60-an jenis. Bahkan setelah
itu berkembang lagi sehingga menjadi 90-an jenis.27 Adapun cabang Ulum Hadis
yang termasyhur dan diperpegangi para muhaddisin selama ini adalah berjumlah
tujuh jenis, yakni:
1.
Ilmu Rijal Hadis, yang menerangkan para periwayat Hadis, baik dari sahabat,
tabi’in dan tabaqah-tabaqah selanjutnya. Diantara kitab-kitab yang membahas
masalah ini adalah al Isti’ab karya Ibnu Abdil Barr dan Usul al Ghabah karya
Izzuddin Ibu Asir.
2.
Ilmu Jarh wa al-Ta’dil, yang menerangkan tentang keaiban dan keadilan seorang
periwayat Hadis. Kitab yang terkenal membahas masalah ini adalah kitab Tabaqat
karya Muhammad Ibn Sa’ad al-Zuhry al-Basri.
3.
Ilm Gharib al- Hadis, yang menerangkan makna-makna atau kalimat yang sukar
dipahami dalam matan Hadis. Kitab yang membahas masalah ini adalah al Faiq fi
Gharib al Hadis karya al Zamakhsyari dan al Nihayah fiy Garab al-Hadis, karya
Majd al-Din Ibn Asir.
4.
Ilm Ilal al-Hadis, yang menerangkan tentang sebab-sebab yang tersembunyi (tidak
nyata) yang dapat mencacatkan Hadis. Kitab yang membahas masalah ini adalah
‘Ilal al_Hadis karya Ibn Abi Hatim.
5.
Ilm Nasikh wa al-Mansukh, yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah dihapus,
dalam arti (hadis-hadis) yang tidak relevan untuk diamalkan saat ini, tetapi
ditemukan Hadis lain sebagai alternative pengganti. Kitab yang membahas masalah
ini adalah al-I’tibar karya Muhammad Ibn Musa al- Hazimiy.
6.
Ilm Asbab al Wurud al Hadis, yang menerangkan tentang latar belakang disabdakan
Hadis-hadis oleh Nabi saw. kitab yang membahas masalah ini adalah al-Bayan wa
al-Ta’rif karya Ibn Hamzah al-Husayni.
7.
Ilmu Talfiq al-Hadis atau disebut juga Ilm Mukhtalaf al-Hadis, yang menerangkan
tentang cara mengumpulkan antara Hadis-hadis yang berlawanan pada zahirnya.
Kitab yang membahas masalah ini adalah Mukhtalif al-Hadis karya Imam Syafi’i.
Berdasar
dari klasifikasi Ulum Hadis diatas, maka secara ontologism ia merupakan sebuah
cabang ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada pembahasan secara mendalam
dan sistematis terhadap Hadis-hadis, serta pembuktiannya terhadap kevalidan
Hadis-hadis itu sendiri.[3]
B.Perkembangan Ulumul Hadis Pada
Priode Klasik, Pertengahan, Modren
Pelopor
pembaharuan dalam ilmu ini adalah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafizh
al-Ushuli Abu ‘Amr Utsman bin ash-Shalah (w. 643 H), beliau telah menyusun
kitab yang dinilai paling mencakup dalam bahasan ilmu hadis yang ditulis pada
masa itu adalah ‘Ulum al-Hadis yang kemudian kitab ini lebih dikenal dengan
nama Muqaddimah Ibnu Shalah. kitab tersebut mencakup keterangan-keterangan yang
terdapat diberbagai kitab sebelumnya dan mencakup seluruh cabang ilmu hadis.
Usaha-usaha yang ditempuh oleh
ulama-ulama dalam masa yang ketujuh ini ialah menerbitkan isi kitab-kitab
hadis, menyaring dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’
yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hukum, mentakhrijkan hadis-hadis
yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrijkan hadis-hadis yang terkenal
dalam masyarakat, mensyarahi dan meringkas kitab yang sudah ada sebelumnya,
serta menyusun kitab Athraf. Dan pada periode ini disusun kitab-kitab Zawa’id
yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke
dalam sebuah kitab tertentu. Selain itu, pada masa ini juga pembelajaran Hadits
hanya bersifat pengembangan terhadap periwayatan atau pengembangan atas
pembelajaran hadits terdahulu saja, seperti halnya pada
syarh, mukhtashar, kitab petunjuk, dan kitab terjemah hadits.
Perkembangan Hadits Pada Era
Klasik
Khazanah
studi hadis pada masa pra kontemporer, mulai merambah pada sebuah disiplin ilmu
yang mapan. Berkembangnya studi hadis pada masa ini disebabkan dengan munculnya
beragam disiplin-disiplin keilmuan baru yang bersinggungan dengan budaya serta
bangsa lain yang telah mendorong upaya pembukuan masing-masing disiplin ilmu
itu sendiri. Dari sini setidaknya dapat diketahui bahwa pada masa ini terdapat
dua pembagian dalam ilmu hadis, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis
dirayah. Dalam prakteknya ilmu hadis riwayah fokus pada proses transmisi hadis,
pemeliharaan dalam hafalan, serta penyampaian pada
orang lain, baik itu secara oral maupun tulisan, atau bisa dikatakan riwayat
yang prosesnya lebih bersifat deskriptif. Sedangkan pada ilmu hadis dirayah,
ilmu hadits lebih menekankan pada kualtas perawi hadits, apakah hadits tersebut
diterima ataupun di tolak. Dari sini maka setelah itu munculah cabang keilmuwan
hadis lainya, seperti Ilmu Rijal hadis, Ilmu Jarh wa Ta’dil, Ilmu Fan
al-Mubhama, Ilmu ilal hadis, Ilmu Gharib hadis, Ilmu Nasikh wa Mansukh, Ilmu
Talfiq al- hadis, Ilmu Tashif wa Tahrif, Ilmu Asbabul Wurud Hadis, Ilmu
Mustalahul al-Hadis.[4]
Perkembangan Hadits di era
Pertengahan
Sebelum
beranjak lebih dalam, penulis akan sedikit mengulas tentang sejarah penamaan
dekade kontemporer. Kata kontemporer merupakan penisbatan pada zaman. Dalam
kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary dijelaskan, ada dua pengertian dari
contemporary. Pertama belonging to the same time (termasuk waktu yang sama),
dan yang kedua, of the present time; modern (waktu sekarang atau modern). Dalam
bahasa Indonesia, kontemporer adalah pada masa kini. Menurut Ahmad Syirbasyi
yang dimaksud dengan periode kontemporer ialah sejak abad ke 13 hijriah atau
akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.
Pada
awal masa periode ini, perkembangan studi hadits hanya berkutat biasa saja
tanpa adanya sebuah kemajuan, hal ini mungkin yang menjadi
penyebabnya ialah dominasi masyarakat Islam kala itu sudah terhegemoni dengan
budaya eropasentris, sehingga umat Islam masih saja bersikap pasif terhadap
kajian hadits. Berulah pada abad ke 20, beberapa ulama kalangan Timur Tengah,
seperti Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh sempat geger dengan
menggembar-gemborkan pembaharuan mereka untuk menganjurkan umat Islam agar
“kembali kepada al-Quran dan Sunnah” dengan kemasan modernisnya, dan sejak aksi
tokoh pembaharu tersebut akhirnya beberapa kalangan sepakat untuk kembali pada
konsep al-Quran Hadits hingga muncul beberapa karya yang menganjurkan untuk
kembali kepada al-Quran dan Hadits. Sejak itulah akhirnya hadits mulai
mendapatkan perhatian sendiri hingga kajian hadits menempati posisi kajian yang
sangat penting. Sehingga pasca setelah itu, studi
hadits kembali berkembang di era ini, bahkan kritik pada hadis sudah merambah
dari berbagai hal, bahkan kritik tidak hanya dari para muhaddits maupun sarjana
muslim, melainkan para orientalis (barat) juga geram ikut ambil dalam hal ini,
Hal ini terbukti pengkaji hadis dikalangan muslim banyak bermunculan, seperti
Muhammad al-Ghazali, Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Muhammad Syahrur, Mustafa
al-Azami, dan Fazlur Rahman, mereka mencoba mengembangkan dan mengkritisi
pemikiran tentang hadis. Sedangkan dikalangan non muslim muncul seperti
Sprenger, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, ini merupakan bukti bahwa kajian
pemikiran hadis mendapat respon yang sangat luar biasa dan senantiasa dikaji.
keempat
berisi kompilasi Hadis yang digunakan sebagai sumber hukum. Namun demikian,
seperti pengamatan Federspiel, teks-teks tersebut dilihat dari sisi content
tidaklah memuat hal-hal baru. Isinya hanya repetasi dari apa yang pernah
dipelajari pada masa-masa sebelumnya. Selain dari sisi isi tidak memuat hal-
hal baru, juga belum membahas kritik hadis secara tuntas. Teori kritik hadis
yang dikemukakan hanya mencakup kritik sanad dan matn yang diarahkan untuk
mengetahui secara teoritis belaka tingkat autentisitas dan validitas Hadis.
Sedangkan pengembangan kritik matn yang diarahkan untuk fiqh al-hadith
(interpretasi Hadis) belum mendapat perhatian.
Hadits memasuki di era Modren
Melihat
perkembangan Hadits di era sebelumnya yang tidak begitu signifikan, maka
perkembangan hadits mulai di galakan kembali oleh para ilmuwan hadits dengan
sebuah kemasan menarik, hal inilah yang membuat para ilmuan hadits ingin
memasukan kajian hadits dalam era digital hal ini guna mengembangkan studi
hadits di era yang sudah memasuki globalisasi, dengan mengembangkan keberadaan
internet maka tampak hadits akan terlihat menarik, hal ini sebagaimana melihat
manfaat internet yang dapat mempermudah tata kerja dan mempercepat suatu proses
suatu pekerjaan, sehingga segala sesuatu dapat ditemukan dengan cara praktis
dan cepat.
Perlu
diketahui di era yang serba global tersebut kita sebenarnya bisa memanfaatkan
beberapa literatur kajian hadits yang sudah digital slah satu contohnya ialah
sofware digital jawami’ul kalem atau Islamweb.org.com, sebenarnya telah lama
didirikan oleh lembaga departemen Agama dan Wakaf kementerian Qatar, lembaga
ini sudah berdiri sejak tahun 1998. Islamweb.org ini berisi banyak kolom,
diantaranya fatwa, multimedia, ensiklopedi, dan lain sebagainya. Yang menjadi
menarik dari web ini ialah dapat memproyeksikan penelusuran hadits dengan
sangat mendalam mulai dari kualitas hadits hingga penyebaranya.[5]
Metode-metode
pemahaman hadis Nabi saw yang sebagiannya merupakan cabang-cabang `ulumul hadis
adalah, pendekatan tekstual dan kontekstual, pendekatan lafzi dan maknawi,
pendekatan risalah dan non risalah, pendekatan ‘ilal hadis, pendekatan nasikh
wa mansukh, dan pendekatan ilmu gharib hadis (pemahaman mufradat yang sulit
dipahami).
Penggunaan
berbagai pendekatan dalam syarah-syarah terhadap hadis hasil pengujian dan
pengumpulan imam al- Bukhari yang bernilai sangat tinggi itu dilakukan oleh Ibn
Hajar untuk mengungkap tabir ketidaktahuan, kesulitan dan kesamaran umat Islam
terhadap hadis-hadis Nabi saw. Ia telah menempati posisi dewa Hermes dalam
sejarah hermeneutik, sebagai dewa penterjemah pesan tuhan kepada manusia.
Memang orang `alimlah yang mampu dan lebih berhak menyingkap kebenaran agama
yang dibawa oleh para rasul Allah karena rentang waktu pembawa dan pengucap
pesan-pesan agama telah cukup lama berselang. Antara Nabi Muhammad saw dan imam
al-Bukhari berselang tiga abad dan antara imam al-Bukhari dengan Ibn Hajar juga
berselang tidak kurang dari tiga abad lamanya.
Secara hermeneutik
(komposisi bahasa dan keluasan pengungkapannya), Ibn Hajar al-`Asqalani
memahami dan mensyarah hadis-hadis dari kitab Sahih al-Bukhari tidaklah
bertumpu kepada pendekatan bahasa saja, tetapi juga kepada pendekatan usul
fiqh, ulumul hadis seperti ilmu rijal al-hadis, tawarikh al-mutun, asbab wurud
hadis dan pendekatan sejarah. Pendekatan bahasa dan ulumul hadis adalah
terlihat sangat dominan dalam setiap syarahannya. Hal ini sejalan dengan bidang
keahliannya sebagai seorang ulama hadis yang cukup tinggi predikatnya,
al-hafiz, ulama yang mampu menghafal lebih dari 100.000 hadis secara sanad dan
matannya. Oleh karena itu, dalam ia mensyarah satu masalah, ia utarakan setiap
hadis terkait dari berbagai jalur perawi yang ada (fiqh al-hadith mawdhu`i) dan
mendudukkannya secara secara proporsional. [6]
Sebagaimana
penulis, sebutkan di atas bahwa konflik sosial politik yang memicu perpecahan
umat muslimin telah mengancam kemurnian dan keaslian hadis. Sebab pada masa ini
telah terdapat para pemalsu hadis yang dengan sengaja memanipulasi hadis dengan
alasan-alasan yang bersifat personal atau kepentingan golongan, seperti
ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini telah muncul hadis palsu tentang
kelebihan empat khalifah, kelebihan ketua-ketua kelompok, kelebihan ketua-ketua
partai, memuliakan dan mencaci kelompok-kelompok agama tertentu. Disamping
pemalsu hadis tersebut dilakukan oleh orang Islam, Orang- orang non muslim juga
melakukan pemalsuan hadis karena keinginan untuk meruntuhkan Islam.
Berdasarkan
kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik hadis adalah suatu upaya untuk
menyeleksi kehadiran hadis, memberikan penilaian dan membuktikan kemurnian dan
keaslian sebuah hadis. Upaya ini juga berarti mendudukkan hadis sebagai hal
yang sangat penting sebagai sumber hukum Islam kedua, itulah bukti
kehati-hatian kita. Upaya ini juga sebagai upaya untuk memahami hadis dengan
tepat dalam mengamalkan isi dari hadis tersebut.[7]
Ulumul
hadis adalah bagian yang sangat penting baik dalam menentukan kualitas hadis
maupun dari segi kuantitasnya. Dalam tinjauan sejarah, sebelum Islam asal usul
sanad telah digunakan oleh agama Yahudi atau terdapat dalam kitab yahudi,
Mishnah, termasuk masyarakat Jahiliyah dalam menuturkan silsila dan syair-syair
mereka juga menggunakan metode sanad meskipun tidak jelas sejauh mana metode
itu diperlukan. Namun setelah Islam datang sanad dalam hadis jauh lebih
metodologis dalam penggunaan periwayatan hadis. Pernyataan ini telah di tahqiq
oleh para ulama hadis “ Sanad hadis merupakan bagian dari agama.[8]
Penyebarluasan Periwayatan Hadis
Tindakan
yang dilakukan Nabi untuk memelihara Sunnah:
a)
Mendirikan Lembaga Pendidikan Lembaga
pendidikan didirikan oleh Nabi di Madinah sesaat setelah kedatangan beliau
disana. Kebijaksanaan umumnya adalah untuk mengirimkan para guru dan penceramah
ke berbagai wilayah yang beragam di luar kota mekah. Sebagai
contoh delegasi yang dikirimkan ke Adhal dan Qara pada tahun 3 H, ke Bir
Ma’unah tahun 4 H, keNajran dan Yaman serta Hadramaut tahun 9 H.
b)
b) Mengarahkan untuk Menyebarkan Ilmu
Pengarahan Nabi tentang penyebarluasan ilmu pengetahuan Nabi bersabda,
“Sampaikanlah sesuatu dariku walaupun satu ayat,” penekanan yang sama dapat
ditangkap dalam pidato beliau saat haji Wada’, di mana Nabi bersabda “Siapa
yang hadir di sini harus menyampaikan segala pesan keagamaan kepada mereka yang
berhalangan hadir saat ini. Oleh sebab itu merupakan kebiasaan para sahabat
menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang mereka serap dari Nabi kepada yang
kebetulan tidak mengetahuinya. c) Memberikan Janji Pahala pada
Guru dan Murid Nabi menyatakan bahwa belajar dan
c)
mengajarkan ilmu pengetahuan merupakan
suatu kewajiban bagi setiap orang muslim. Barangsiapa yang keluar melangkahkan
kakinya untuk menuntut ilmu Allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju
syurga dan para malaikat akan mengepakkan sayapnya dalam keadaan yang
menyenangkan bersama orang yang menimba ilmu, bahkan seluruh makhluk di langit
dan di bumi memintakan maaf untuknya bahkan ikan yang ada dilaut. Begitu juga
untuk si pemberi ilmu Nabi bersabda “Apabila anak bani Adam meninggal dunia
akan terputus segalanya darinya kecuali tiga perkara: Sadaqah jariah, ilmu yang
selalu dimanfaatkan dan doa seorang anak yang shaleh.[9]
Berdasarkan uraian pemahaman Sunnah
dalam perspektif Muhammad Syahrur di atas, kini penulis akan mengkaji bagaimana
kontribusi pemahaman Sunnah Muhammad Syahrur bagi pengembangan ilmu hadis
sekarang dan untuk masa akan datang. 1. Melakukan rasionalisasi terhadap
matan/teks hadis Untuk melihat kontribusi pemahaman Sunnah Muhammad Syahrur
bisa kita rujuk kembali bagaimana Muhammad Syahrur membangun landasan berpikir
untuk memperkuat pemahamannya tentang Sunnah. Muhammad Syahrur mengatakan bahwa
hadis atau sunnah bukanlah bagian dari wahyu bahkan dia mengatakan bahwa nabi
Muhammad tidak mempunyai hak untuk menetapkan syariat berdasarkan Alquran. Dia
mengatakan sunnah Nabi adalah pembatasan terhadap yang mutlak dan pemutlakan
terhadap hal yang dibatasidalam wilayah yang diperbolehkan dan bahwa pembatasan
dan pemutlakan tersebut menggambarkan dimensi pembentukanbagi laju pertumbuhan
dan perkembangan dalam masyarakat dalam bingkai umum yang
membatasi wilayah halyang di larang dan wilayah yang di perbolehkan. Dari
pendapat Muhammad Syahrur ini penulis melihat semangatnya untuk merasionalisasi
hadis-hadis yang bertentangan dengan akal sehat manusia bahkan saking
semangatnya Syahrur menolak hadis-hadis bermuatan hal-hal yang gaib walaupun
termaktub dalam kitab induk hadis paling sahih seperti Kitab Sahih Bukhari
dan Sahih Muslim. Hal inilah yang membuat mayoritas umat Islam menolak konsep
pemahamnnya ini.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Ezra, Michael. “Muhammad
Ali.” TAHDIS Vol 7, no. No 1 (2016): hlm.52-63.
Husna, Nurul. “Hadis Adalah Salah Satu Pedoman Hidup Manusia Setelah
Alquran , Sebagai Mana Diketahui Bahwa Seseorang Tidak Bisa Memahami Alquran
Secara Terperinci Semua Ini Dikenal Dengan Nama Hadis . Hadis Juga Merupakan
Sumber Hukum Kedua Setelah Alquran , Akan Tetap.” Ilmu Hadis Vol 1, no.
No 2 (2018): hlm.267-280.
Maulana, Luthfi. “PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi
Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital ).” ESENSIA Vol 17, no. No 1
(2016): hlm.111-123.
“PROBLEMATIKA HADIS DAN ‘ULŪMUL HADĪS,” 2017.
“Sunusi Masa Depan Hadis & Ulum Hadis MASA DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS
Oleh: Sunusi.” Al Hikmah Vol. Vol XIV, no. No 2 (2013): hlm.55-70.
Ushuluddin, Fakultas, Iain Raden, and Intan Lampung. “KRITIK HADITS DI
KALANGAN ILMUWAN HADITS ERA KLASIK DAN ILMUWAN HADITS ERA MODERN (Tokoh,
Parameter, Dan Contohnya).” Al-Dzikra Vol 9, no. No 1 (2015): hlm.58-79.
Yahya, Agusni. “PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PEMAHAMAN HADIS (Kajian Kitab
Fath Al-Bari Karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani).” Ar-Raniry, International
Journal of Islamic Studies Vol 1, no. No 2 (2014): hlm.365-386.
https://doi.org/10.20859/jar.v1i2.23.
И.В.Иванов, О.В.Ковалишина, О.Р.Швабский. “PEMAHAMAN SUNNAH DAN
PENGEMBANGAN ILMU HADIS.” MIYAH, Vol 13, no. No 02 (2017): hlm.227-248.
[2]
“Sunusi Masa Depan Hadis & Ulum Hadis MASA DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS
Oleh: Sunusi,” Al Hikmah Vol XIV, No
2 (2013): hlm.55-70.
[3]
“Sunusi Masa Depan Hadis & Ulum Hadis MASA DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS
Oleh: Sunusi.”Al Hikmah Vol XIV, No 2 (2013): hlm.55-70.
[4]Luthfi Maulana, “PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi
Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital ),” ESENSIA
Vol 17, no. No 1 (2016): hlm.111-123.
[6]Agusni Yahya, “PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PEMAHAMAN HADIS (Kajian Kitab
Fath Al-Bari Karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani),” Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies Vol 1, no. No 2
(2014): hlm.365-386, https://doi.org/10.20859/jar.v1i2.23.
[7]Fakultas Ushuluddin, Iain Raden, and Intan Lampung, “KRITIK HADITS DI
KALANGAN ILMUWAN HADITS ERA KLASIK DAN ILMUWAN HADITS ERA MODERN (Tokoh,
Parameter, Dan Contohnya),” Al-Dzikra
Vol 9, no. No 1 (2015): hlm.58-79.
[9]Nurul Husna, “Hadis Adalah Salah Satu Pedoman Hidup Manusia Setelah
Alquran , Sebagai Mana Diketahui Bahwa Seseorang Tidak Bisa Memahami Alquran
Secara Terperinci Semua Ini Dikenal Dengan Nama Hadis . Hadis Juga Merupakan
Sumber Hukum Kedua Setelah Alquran , Akan Tetap,” Ilmu Hadis Vol 1, no. No 2 (2018): hlm.267-280.
[10]О.Р.Швабский И.В.Иванов, О.В.Ковалишина, “PEMAHAMAN SUNNAH DAN
PENGEMBANGAN ILMU HADIS,” MIYAH, Vol
13, no. No 02 (2017): hlm.227-248..
Komentar
Posting Komentar