SEJARAH HADIS KODIFIKASI: PEMBUKUAN HADIS ABAD II,III,IV,V,DAN SAMPAI SEKARANG
SEJARAH
HADIS KODIFIKASI: PEMBUKUAN HADIS ABAD
II,III,IV,V H, DAN SAMPAI SEKARANG
A. PENDAHULUAN
Usaha
mempelajari kodifikasi (pembukuan) hadits diharapkan dapat mengetahui sikap
diadakan tindakan umat islam yang sebenarnya, khususnya para ulama ahli hadis,
terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap
periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna.
Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan
hambatan yang dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya
tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri
khusus dan persoalan-persoalan tersebut.
Diantara ulama tidak seragam dalam menyusun
periodesasi
pertumbuhan
dan perkembangan hadist ini ada yang membaginya kepada tiga periode
saja,seperti masa Rasul SAW., sahabat dan tabi‟in,
masa pentadwinan, dan masa setelah tadwin. Ada yang membaginya kepada
periodesasi yang lebih terinci ,sampai lima atau tujuh periode , dengan spesifikasi
yang cukup jelas.
Terlepas
dari periodesasi yang dikemukukan di atas, yang perlu diuraikan secara khusus
pada bahasan ini, ialah masa Rasul SAW., masa sahabat, masa tabi‟‟in,
masa pentadwinan atau pembukuan,masa seleksi atau penyaringan hadits atau masa
sesudahnya hingga pada masa sekarang.
B. Sejarah Hadis Kodifikasi
1.
Kodifikasi Hadis Pada Masa Rasul SAW.
a.
Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadits
Umat
Islam pada masa ini dapat secara langsung memperolen hadis dari Rasulullah SAW. Sebagai sumber hadist. Antar
Rasul SAW. Dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau
mempersulit pertemuannya. Allah menurunkan al-qur‟an
dan mengutus nabai Muhammad SAW. Sebagai utusannya adalah sebuah paket yang
tidak dapat di pisah pisahkan, dan apa apa yang disampaikannya juga merupakan
wahyu .
Oleh
karena itu ,tempat- tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah
terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yangbiasa digunakan Rasulullah
bervariasi , seperti di masjid, rumah Rasulullah, pasar, ketika dalam
perjalanan (safar) atau ketika muqim (berada di rumah).[1]
Melalui
tempat-tempat tersebut Rasulullah SAW. Menyampaikan hadis, yang terkadang
disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah),
dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka
(melalui musyahadah). Ada beberapa cara Rasulullah SAW. Menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu: Pertama, melalaui
para jama‟ah pada pusat pembinannya yang disebut
majlis al-„ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang
untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan
diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan Rasulullah SAW. Kedua,
dalam banyak kesempatan Rasul SAW. Juga menyampaikan hadisnya melalui parasahabat
tertentu , yang kemudian disampaikan nya kepada orang lain.Hal ini karena
terkadang ketika ia mewurudkan hadist ,para sahabat yang hader hanya beberapa
orang saja , baik karena disengaja oleh Rasul SAW . sendiri atau kebetulan para
sahabat yang hader hanya beberapa orang saja , bahkn hanya 1 orang , seperti
hadist hadist yang ditulis oleh Abdullah ibn Amr ibn Al-„Ash. Ketiga, cara lain yang dilakukan oleh Rasul
SAW adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka , sepeti wada‟
dan futuh makkah.
Seperti
halnya hadis pra-kodifikasi, kodifikasi pun metode perbandingan tetap masih
dominan dan relevan, hanya saja teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana
telah disinggung sebelumnya. Maksud dari kodifikasi hadis atau tadwin hadis
pada periode kodfikasi adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah
kepala negara yaitu pada pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Berangkat dari itu
maka bisa disimpulkan bahwa fokus kajian pada bab ini adalah terkait dengan
naskah atau dokumen hadis Nabi pada masa sebelum kodifikasi resmi. Sebagaima
jamak diketahui bahwa beberapa sahabat telah menuliskan sunnah (hadis) pada
masa keNabian. Alasannya
adalah Abu Bakar yang memiliki dokumen hadis lalu membakarnya membuktikan Nabi
tidak melarang untuk menuliskan hadis, akan tetapi Abu Bakar khawatir jika ia
menuliskan hadis yang nyatanya tidak bersumber langsung dari Nabi. Begitu pula
dengan Umar yang pernah mengusulkan kodifikasi hadis tidak mengindikasikan
pelarangan penulisan hadis pada masa kenabian, tetapi Umar berkehendak
memfokuskan diri pada kodifikasi Alquran.
Maksud
dari kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada periode kodfikasi adalah
kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala negara yaitu pada
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Berangkat dari itu maka bisa disimpulkan
bahwa fokus kajian pada bab ini adalah terkait dengan naskah atau dokumen hadis
Nabi pada masa sebelum kodifikasi resmi. Sebagaima jamak diketahui bahwa
beberapa sahabat telah menuliskan sunnah (hadis) pada masa keNabian. Semisal
Abdullah bin Amru bn Ash, al-Anshari yang tidak mampu menghafal hadis, dan para
sahabat lainnya yang aktif menuliskan hadis namun sayangnya kita tidak mampu
memahami isi dari naskah-naskah hadis tersebut karena sebagian sahabat dan
tabiin memilih untuk membakar atau mencuci naskah pribadi mereka dengan air
sebelum dijemput maut. Mereka melakukan itu dengan alasan adanya kekhawatiran
jika naskah tersebut sampai pada mereka yang tidak memilki ilmu mumpuni dalam
membedakan teks.[2]
1. Heuristik (Pengumpulan Sumber)
Heuristik
adalah usaha sejarawan dalam rangka memilih suatu subjek dan mengumpulkan
informasi mengenai subjek. Heuristik sejarah pada hakikatnya sama dengan
kegiatan bibliografis yang lain dalam hal buku-buku yang tercetak, hanya saja
sejarawan harus mempergunakan banyak materi yang tidak terdapat di buku-buku.
Untuk mengatasi kebingungan atas banyaknya material-material yang didapat, maka
sejarawan harus selektif dalam memilih sumber. Sumber yang dikumpulkan harus
sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis. Sumber tersebut, menurut
bahannya, terbagi dua: tertulis (dokumen) dan tidak tertulis. Yang tidak
tertulis ini juga terbagi kepada dua yaitu artifak (foto, bangunan, dll) dan
lisan.
2. Verifikasi (Kritik Sumber)
Verifikasi
terbagi dua: otentisitas atau kritik ekstern dan kredibilitas atau kritik
intern. Verifikasi otentisitas adalah sebuah usaha untuk mengetahui keaslian
sumber yang telah didapat, sedangkan verifikasi kredibilitas adalah upaya untuk
memastikan bahwa sumber yang didapat tersebut adalah terpercaya.
3. Interpretasi: Analisis dan
Sintesis
Interpretasi
sering dianggap sebagai biang subjektifitas. Hal itu dikarenakan sejarah tanpa
sejarawan yang melakukan interpretasi adalah “tidak ada”, sementara sejarawan
bisa jadi tidak jujur dalam mencantumkan data dan keterangan yang dia peroleh.
Karena itu pulalah interpretasi terhadap sejarah kadang tidak sama dan
berubah-ubah. Dalam melakukan interpretasi setidaknya ada dua tahapan yang
harus dilewati: analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan sumber yang
diperoleh setelah melalui uji verifikasi, sedangkan sintesis berarti manyatukan
sumber-sumber yang dianalisis tadi dengan memberikan kesimpulan akhir. Dalam
interpretasi ini, baik analisis maupun sintesis, para sejarawan bisa berbeda
pendapat. Perbedaan interpretasi ini dalam kajian ilmiah dianggap sah meskipun
data yang diperoleh sama.
4. Historiografi (Penulisan)
Tahapan akhir dari sebuah penelitian terhadap
sejarah
adalah
penulisan (historiografi). Penulisan sejarah ini adalah puncak dari berbagai
tahapan penelitian sejarah yang telah dilalui, karena apa yang telah dituliskan
itulah (histoire-recite) yang bernama “sejarah” sebagaimana yang dikisahkan,
dari hasil memahami sejarah sebagaimana terjadinya (histoire-realite).[3]
Penelitian mengenai perkembangan
penulisan Hadis dalam proses panjang Hadis dalam khazanah Islam, telah
dilakukan oleh para ulama maupun sarjana belakangan. Beberapa di antaranya
dapat disebut misalnya, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihâh al- Sittah karya
Muhammad Muhammad Abû Syuhbah,4 Manâhij al-Muhadditsîn karya Muhammad Mubârak
al-Sayyid, Tadwîn al-Sunnah al-Nabawîyyah Nasy’atuh wa Tathawwuruh min al-Qarn
al-Awwal ilâ Nihâyah al- Qarn al-Tâsi’ al-Hijrî karya Muhammad ibn Mathar al-
Zahrânî, al-Hiththah fî Dzikr al-Shihâh al-Sittah yang ditulis oleh al-Qanûjî
(1307 H). Tulisan lain berkenaan dengan studi kitab Hadis adalah Studi Kitab
Hadis yang disusun oleh beberapa dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Berbeda dengan tulisan-tulisan
yang tersebut di atas, penelitian ini tidak memusatkan perhatian pada kajian
metode kitab-kitab Hadis, khususnya al-Kutub al- Sittah. Tulisan ini
menjelaskan faktor-faktor pembentuk dominasi fikih dalam periwayatan dan
pembukuan Hadis tersebut, diawali dengan memaparkan konsensus mayoritas umat
Islam generasi awal terhadap kitab- kitab Hadis yang dijadikan pegangan umat
Islam dalam Hadis. Selanjutnya, tulisan ini akan melihat akar orientasi fikih
dalam periwayatan Hadis sejak masa sahabat, pengaruh formalisasi madrasah fikih
pada penulisan Hadis, dan dominasi fikih yang menjadi arus utama penulisan
kitab Hadis.[4]
C. Pembukuan Hadis Abad
II,III,IV,dan V
Hadis
merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Pada masa Rasulullah,
hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum banyak ditulis, bahkan di
awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena khawatir bercampur dengan
al-Qur’an. Para sahabat merupakan penyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara
mereka yang mendengar berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar
bin Khattab secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw.
Namun banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada
larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum banyak,
dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih belum melek
tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka.
Pada
masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis,
terutama pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum
mendapatkannya secara langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat
minim sekali, dan hanya terbatas pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus
yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat
yang lain yang menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan
Islam yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan
meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah serta
penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan
kehidupan manusia.
Bahkan
setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan. kebutuhan akan hadis
semakin meningkat. Para sahabat semakin berhati- hati dalam menerima hadis
karena telah muncul benih-benih hadis palsu pada masa Ali bin Abi Thalib dan
semakin kuat ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan.3 Misalnya hadis “Ali sebaik-baik
manusia, barang siapa meragukannya maka dia kafir.” Hadis digunakan oleh
kelompok pembela Ali (Syi’ah). Kemudian salah satu contoh lai adalah “Sosok
yang berkarakter jujur ada tiga: aku, Jibril, dan Muawiyyah” yang digunakan
sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru setelah khalifah Ali, yakni dinasti
Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya. Kaum Rafidhah Syi’ah yang
merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang banyak memalsukan
hadits.
Pada
periode keempat, yakni hadis pada masa Intisyar riwayah il al-amshar
(penyampaian hadis ke berbagai wilayah) semakin banyak sahabat kecil dan tabiin
yang menjadi pengajar agama Islam dan penyambung lidah Rasulullah, sehingga
para pencari hadis dan cerita-cerita yang berkait dengan Rasulullah dicari dan
dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya baru sebatas dilakukan oleh para
individu, dan belum ada kordinasi dengan pihak para khalifah Umayyah.[5]
Pada
periode ini, kritik hadis yang dilakukan oleh para sahabat terbatas pada kritik
materi hadis (naqd matn al-hadis) dan belum melakukan kritik perawiyat (naqd
al-rijal) dan kritik transmisi hadis (naqd al-sanad). Hal ini dikarenakan
sahabat saling mempercayai satu sama lain dan kebohongan dalam periwayatan
hadis belum terjadi. Kritik hadis pada masa itu masih sangat mudah dilaksanakan
karena keputusan tentang otentisitas sebuah hadis berada di tangan Nabi saw.
Sehingga apabila ada sahabat yang ingin mengecek kebenaran sebuah hadis, mereka
bisa secara langsung menanyakannya kepada Nabi saw.
Memasuki
periode kedua, yaitu masa khulafa' al-Rasyidin kritik hadis mengalami
perkembangan, oleh karena para sahabat mulai melakukan kritik matan dengan
menggunakan metode perbandingan (muqaranah) yaitu membandingkan antara hadis
dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Misalnya Aisyah ra. yang tidak menerima hadis
menyebutkan bahwa orang yang meninggal akan disiksa di dalam kuburnya karena
tangisan keluarganya karena hadis menurutnya bertentangan dengan ayat Al-Qur'an.17
Di samping itu, telah ada kritik rawi dari segi kedabitannya seperti yang
dilakukan oleh Aisyah terhadap 'Abdullah bin Amru.
Dalam
meriwayatkan hadis, para sahabat cenderung membatasi periwayatan. Abu Bakar ra.
Misalnya, meskipun banyak mendengar hadis dari Rasulullah saw. Namun riwayatnya
relatif sedikit. Begitu pula 'Imran ibn Husayn, Abu 'Ubaydah. 'Abbas ibn Abd
al-Mutthalib bahkan Sa'id ibn Zayd tidak meriwayatkan hadis kecuali dua atau
tiga hadis. Sementara ibn 'Imran malah hanya meriwayatkan satu hadis saja
mengenai menyapu sepatu.
Sejarah
perkembangan hadis mencpai puncaknya pada paruh kedua dari periode mutaqaddimin
yaitu abad III H sehingga abad ini dipandang sebagai masa keemasan hadis. Pada
masa inilah kitab-kitab rujukan utama dalam ilmu hadis yang dikenal dengan nama
kutub al-sittah dihasilkan. Secara umum, metode penyusunan
kitab hadis pada masa tersebut terdiri atasi tiga macam, yaitu penyusunan hadis
berdasarkan musnad, berdasarkan pokok bahasan dan kitab yang merupakan
sanggahan terhadap berbagai kritik yang dialamatkan kepada para ahli hadis atau
terhadap hadis.
Pada
pertengahan abad IV H para ulama mengumpulkan materi-materi ilmu hadis yang
masih terpisah-pisah dalam beberapa kitab, sehingga kalau pada tiga abad
sebelumnya istilah ilmu hadis belum dikenal sebagai satu disiplin ilmu maka
pada periode ini berbagai kitab ilmu hadis mulai dihasilkan seperti kitab
al-Muhaddis al- Fasil bayna al-Rawi wa al-Wa'i karangan Abu Muhammad al-Ramahurmuziy
(w.360 H) yang dipandang sebagai kitab ilmu hadis yang pertama. Setelah
abad IV H. Perkembangan hadis mengalami stagnasi. Ulama hadis kehilangan
kreatifitas, yang dilakukan sebatas mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat pada
kitab-kitab terdahulu (al-jam'u), menyaring kita-kitab sebelumnya (tahzib) dan
menulis kitab yang mencantumkan bagian awal hadis (atraf). Sebaliknya ilmu
hadis dirayah mengalami perkembangan yang sangat pesat ditandai dengan
banyaknya karangan dalam ilmu ini, yang paling populer di antaranya adalah ulum
al-hadis karangan Ibn al-Salah (w. 643 H).
Abad
X H adalah abad kemunduran dalam sejarah hadis dan ilmu hadis secara berbarengan.
Keadaan ini terus berlanjut sampai pada tahun 1800 M. Ketika angin pembauran
mulai bertiup dengan kencang yang membawa pengaruh besar pada berbagai disiplin
ilmu keislaman.[6]
Penelitian
Hadis Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga Kodifikasi Hadis (Abad II-III).
Sebagaimana penulis, sebutkan di atas bahwa konflik sosial politik yang memicu
perpecahan umat muslimin telah mengancam kemurnian dan keaslian hadis. Sebab
pada masa ini telah terdapat para pemalsu hadis yang dengan sengaja
memanipulasi hadis dengan alasan-alasan yang bersifat personal atau kepentingan
golongan, seperti ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini telah muncul
hadis palsu tentang kelebihan empat khalifah, kelebihan ketua-ketua kelompok,
kelebihan ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci kelompok-kelompok agama
tertentu. Disamping pemalsu hadis tersebut dilakukan oleh orang Islam, Orang-
orang non muslim juga melakukan pemalsuan hadis karena keinginan untuk
meruntuhkan Islam.
Adapun
rambu-rambu yang mengindikasikan adanya aktivitas kritik hadis pada abad ke II
dan ke III antara lain adalah sebagaimana ungkapan Malik dalam kutipan Umi
Sumbulah berikut:
a.
Tidak meriwayatkan hadis dari orang
yang selalu memperturutkan ambisi pribadinya (hawa nafsu).
b.
Tidak meriwayatkan hadis dari orang
yang bodoh, yang dengan kebodohonnya itu ia kemudian membuat kebohongan atas
nama Rasulullah.
c.
Tidak meriwayatkan hadis dari
seseorang yang sebenarnya baik amal ibadahnya, namun hadis yang diriwayatkannya
itu tidak dikenal (umum).
Kritik hadits pada masa tabi’in dan
setelahnya (abad ke-II dan ke-III) telah mencakup kepada penelitian sanad dan
matan hadis. Kegiatan penelitian tersebut telah menjalar ke seluruh pelosok
negeri Islam seperti: Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara,
Merv, Kufah, Naisabur dan sebagainya.[7]
Kajian hadis Nabi telah mengalami perjalanan
panjang dan telah melahirkan berbagai magnum opus dari goresan pena para ulama
hadis. Para
ulama seakan terpacu adrenalinnya untuk menghasilkan karya [8]ilmiah
yang akan tetap dikenang sejarah tentang berbagai studi yang mengkaji Hadis
baik dari segi ilmu-ilmu hadis, takhrij al-hadis maupun pemahaman terhadap
hadis. Perjalanan panjang yang di lewati studi hadis tersebut membuat umat
Islam dan tidak jarang para sarjana Muslim merasa sudah mapan dan puas terhadap
pemikiran-pemikiran dan karya-karya tulis para ulama zaman dahulu. Keadaan
inilah yang membuat pengkajian hadis mengalami stagnasi dan berputar pada
objek-objek studi yang sudah dikaji para sarjana muslim zaman dahulu.
Kondisi stagnasi pengembangan ulumul hadis dan
polemic pemikiran sunnah Muhammad Syahrur ini menjadi kegelisahan akademik yang
penulis rasakan sehingga memotivasi penulis untuk mengkaji bagaimana pemahaman
Muhammad Syahrur terhadap sunnah dan implikasinya bagi pengembangan kajian
ilmu-ilmu Hadis. Tentunya kajian ini bukan memvonis benar atau salah pemahaman
Muhammad Syahrur akan tetapi ingin memaparkan bagaimana dan apa saja kontribusi
pemahaman Muhammad Syahrur terhadap ulumul hadis. Dan sejauh penelusuran
penulis belum ada yang mengkaji kontribusi pemikiran dan pemahaman Muhammad
Syahrur terhadap pengembangan ilmu-ilmu Hadis. Pada dasarnya
sunnah tidaklah sama dengan pengertian Hadis, karena Sunnah sesuai dengan
pengertiannya secara bahasa ditujukan terhadap pelaksanaan ajaran agama yang
ditempuh atau praktik yang dilaksanakan oleh Rasulullah Saw dalam perjalanan
hidupnya karena sunnah secara bahasa berarti at-tariqah atau jalan kehidupan.[9]
D. Hadis Pada Masa Sekarang
Berbagai hadis Nabi
yang tertulis di dalam kitab-kitab hadis sekarang ini, asal mulanya adalah
hasil kesaksian sahabat terhadap sabda, perbuatan, taqriri50, atau dan hal
ihwal Nabi. Apa yang disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikan kepada orang
lain. Orang lain yang menerima riwayat hadis itu mungkin saja berstatus sebagai
sahabat, muhadhramun,51atau tabi’in52. muhadhramun dan tabi’in yang menerima
riwayat hadis tadi lalu menyampaikan hadis itu kepada tabi‟in
atau kepada atha’
al-tabi’in (generasi umat
Islam sesudah tabi‟in), demikianlah
seterusnya. Sehingga hadis itu akhirnya sampai kepada periwayat yang melakukan
kegiatan penghimpunan hadis. Buah karya para penghimpun hadis (al-mukharrij)
itulah yang menjadi sumber pengetahuan dan rujukan hadis pada masa berikutnya
sampai pada masa sekarang.
Cara periwayat
memperoleh dan menyampaikan hadis pada masa Nabi tidaklah sama dengan pada masa
sahabat. Demikian pula periwayatan pada masa sahabat tidak sama dengan
periwayatan pada masa sesudahnya. Cara periwayatan hadis pada mana Nabi lebih
terbebas dari syarat-syarat tertentu bila dibandingkan dengan periwayatan pada
masa sesudahnya. Hal ini disebabkan, karena pada masa Nabi selain tidak ada
bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan hadis, juga karena pada
masa itu seseorang akan lebih mudah melakukan pemeriksaan sekiranya ada hadis
yang diragukan kesahihannya. Makin jauh jarak waktu dari masa hidup Nabi, makin
sulit pengujian kebenaran suatu hadis.
Kodifikasi atau
tadwin hadis, artinya adalah pencatatan, penulisan, dan pembukuan hadis. Secara
individual, seperti diuraikan dalam pembahasan di atas, pencatatan telah
dilakukan oleh para sahabat sejak jaman Rasul saw. Akan tetapi yang dimaksud
dalam pembahasan disini, ialah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah
khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam permasalah ini.
Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi,
seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Ada suatu
dilema seputar penulisan dan pembukuan hadis, yaitu adanya suatu larangan
penulisan dari Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri :
“Janganlah kamu sekalian menulis apa yang kamu dengar dariku selain dari al-Qur‟an,
maka hapuskanlah
Hadis
ini memberikan gambaran kekhawatiran Rasulullah akan penulisan hadis, karena
akan terjadi suatu percampuran dengan al-Qur‟an.
Dengan demikian boleh
menulis hadis dikala kekhawatiran itu hilang. Pada sisi lain, manakala situasi
mengizinkan, terutama ketika Islam tersebar luas, wilayah semakin melebar, bid‟ah
menjadi-jadi, sahabat tersebar ke berbagai wilayah, banyaknya sahabat yang
gugur dalam peperangan, melemahnya daya hafal sahabat, pada kondisi seperti
inilah, khalifah Umar ibn Abdul Aziz ,memiliki gagasan untuk membukukan hadis.
Adapun
factor tidak dibukukannya hadis pada masa Nabi adalah : pertama. Membukukan
ucapan, amaliah dan amalannya adalah suatu keadaan yang sukar, karena
memerlukan adanya segolongan sahabat yang terus menerus menyertai Nabi, di
samping mereka dikerahkan untuk menulis al-Qur‟an.
Kedua, umumnya para sahabat yang pandai menulis sedikit sekali, kemudian mereka
masih bertumpu pada hafalan.sahabat.
Di saat inilah
berkembang periwayatan hadis di kalangan sahabat. Namun sampai dengan masa
al-Khulafa al-Rasyidin keadaan masih belum banyak berubah. Sikap al-Khulafa
al-Rasyidin yang memperketat para sahabat baik dalam meriwayatkan maupun ketika
menyampaikan hadis, Abu Bakar misalnya, yang sempat menghimpun hadis kemudian
membakarnya.[10]
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Dosen Ilmu, Hadis
Fakultas, and Ushuluddin Filsafat. “Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra
Kodifikasi Muhammad Abduh | 63.” Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra
Kodifikas 6, no. 1 (2015): 71–72.
Amin, Ahmad Paishal. “HISTORIOGRAFI
PEMBUKUAN HADIS MENURUT SUNNI DAN SYI ’ AH Abstrak A . Pendahuluan Perbedaan
Selalu Terjadi Dalam Memahami , Menginterpretasi Dan Menerima Sejarah . Hal Ini
Dikarenakan Adanya Perbedaan Pengetahuan Yang Mereka Alami Dan Perbedaan
Penginterpr.” Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits 12, no. 1 (2018): 77–78.
Fatkhi, Rifqi Muhammad. “DOMINASI PARADIGMA
FIKIH DALAM PERIWAYATAN DAN KODIFIKASI HADIS.” Ahkam XII, no. 2 (2012):
100.
Gagasan, Suatu, Ke Arah, and Pembaruan
Pemikiran. “MASA DEPAN HADIS DAN ‘ ULUM AL -HADIS.” Masa Depan Hadis Dan ‘Ulum,,,
13, no. 1 (2019): hlm. 44,45,46,47.
Qudsy, Saifuddin Zuhri. “Umar Bin Abdul
Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis.” ESENSIA XIV, no. 2 (2013): hlm.
258,259,260.
Tarbiyah, Jurusan, Program Studi,
Pendidikan Guru, and Madrasah Ibtidaiyah. “Proses Kodifikasi Hadits.” Ulumul
Hadits Dosen 1, no. 2 (2015): 5–6.
Ushuluddin, Fakultas, Iain Raden, and Intan
Lampung. “KRITIK HADITS DI KALANGAN ILMUWAN HADITS ERA KLASIK DAN ILMUWAN
HADITS ERA MODERN (Tokoh, Parameter, Dan Contohnya).” Al-Dzikra 9, no. 1
(2015): 67–68.
Zain, Lukman. “Sejarah Hadis Pada Masa
Permulaan Dan Penghimpunannya.” Lukman Zain MS - Sejarah Hadis | 23 Pada
Masa Permulaan Dan Penghimpunannya Sebagaimana 2, no. 1 (2014):
11,20,21,22.
[1]Jurusan Tarbiyah et al., “Proses Kodifikasi Hadits,” Ulumul Hadits Dosen 1, no. 2 (2015):hlm. 5–6.
[2]Muhammad Abduh et al., “Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikasi
Muhammad Abduh | 63,” Melacak Akar
Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikas 6, no. 1 (2015):hlm. 71–72.
[3]Ahmad Paishal Amin, “HISTORIOGRAFI PEMBUKUAN HADIS MENURUT SUNNI DAN SYI ’
AH Abstrak A . Pendahuluan Perbedaan Selalu Terjadi Dalam Memahami ,
Menginterpretasi Dan Menerima Sejarah . Hal Ini Dikarenakan Adanya Perbedaan
Pengetahuan Yang Mereka Alami Dan Perbedaan Penginterpr,” Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits 12, no. 1 (2018):hlm. 77–78.
[4]Rifqi Muhammad Fatkhi, “DOMINASI PARADIGMA FIKIH DALAM PERIWAYATAN DAN
KODIFIKASI HADIS,” Ahkam XII, no. 2
(2012):hlm. 100.
[5]Saifuddin Zuhri Qudsy, “Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis,”
ESENSIA XIV, no. 2 (2013): hlm.
258,259,260.
[6]
Suatu Gagasan, Ke Arah, and Pembaruan Pemikiran, “MASA DEPAN HADIS DAN ‘
ULUM AL -HADIS,” Masa Depan Hadis Dan
‘Ulum,,, 13, no. 1 (2019): hlm. 44,45,46,47.
[7]Fakultas Ushuluddin, Iain Raden, and Intan Lampung, “KRITIK HADITS DI
KALANGAN ILMUWAN HADITS ERA KLASIK DAN ILMUWAN HADITS ERA MODERN (Tokoh,
Parameter, Dan Contohnya),” Al-Dzikra
9, no. 1 (2015):hlm. 67–68.
[9]
Ushuluddin, Raden, and Lampung, “KRITIK HADITS DI KALANGAN ILMUWAN HADITS
ERA KLASIK DAN ILMUWAN HADITS ERA MODERN (Tokoh, Parameter, Dan Contohnya).”hlm.226,227,228.
[10]Lukman Zain, “Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya,” Lukman Zain MS - Sejarah Hadis | 23 Pada
Masa Permulaan Dan Penghimpunannya Sebagaimana 2, no. 1 (2014):hlm.
11,20,21,22.
Komentar
Posting Komentar