PEMBAGIAN HADIS


PEMBAGIAN HADIS

A.PENDAHULUAN
          Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah alqur’an. Sebelum menerapkan sesuatu yang baru dalam kehidupan, adakalanya kita harus mengetahui  asal muasal dan kualitas  dari sesuatu itu. Begitu halnya dengan hadis, segala sesuaty  perkataan maupun perbuatan  dari Nabi Muhammad SAW dituliskan dalam hadis, sebelum memakainya  ada kalanya kita harus tau  asal usul, kuantitas, dan kualitasnya.
          Didalam makalah ini akan dibahas  mengenai pembagian hadis dari segi kualitas, kuantitas sanad, dari segi kuantitas sanad meliputi : Mutawatir, dan Ahad. Penentuan tinggi rendahnya  tingkatan suatu hadis itu  bergantung pada tiga hal yaitu: jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan ringgi rendahnya suatu hadis.  Hadis sebagai penjelasan alqur’an itu memiliki berbagai macam fungsi. Salah satunya  yaitu macam-macam hadis dilihat dari segi kualitas dan kuantitasnya.
          Dari makalah ini diharapkan pembaca  dapat memahami dan mengerti hadis  dari segi kualitas dan kuantitas  sehingga tidak menjadi keragu-raguan  dalam mengikuti amalan  yang akan di perbuat dari hadis,  Makalah ini dibuat sedemikian rupa  agar dapat memahaminya namun masih banyak terdapat kekurangan, dan sekiranya pembaca dapat memahaminya, terimakasih.
B.PEMBAGIAN HADIS
    1. Dari Segi Kuantitas Sanad Mutawatir
Kata sanad berasal dari bahasa arab, yaitu اﺪﻨﺳ و ادﻮﻨﺳﺪﻨﺳﻨﺴﯾ yang berarti دﺎﻤﺘﻋاو ﻦﻛر (sandaran dan pegangan) (Manna’ al-Qaththan: 1992, 207). Bentuk jamaknya adalah asnad. Secara bahasa sanad juga berarti لﺎﺒﺠﻟا ﻞﺒﻗ ﻰﻓ ضرﻷا ﻦﻣ ﻊﻔﺗراﺎﻣ ىداﻮﻟا وأ atau puncak bukit (Ibn Manzhur: t.th., XIII: 205).
Menurut istilah, sanad dimaknai dengan jalan yang menyampaikan kepada matn (teks) hadis. Maksudnya, sanad adalah rangkaian perawi yang menukilkan teks hadis dari sumber pertama (‘Ajjaj al-Khatib: 1989, 32).
Istilah tawattur tidak hanya berkorelasi dengan keilmuan kritik hadis saja, sebab terma ini juga dibahas dalam beberapa cabang keilmuan lain (teologi dan ushul fiqh). Menurut Huseyn Hansu, perdebatan seputar definisi mutawattir dalam kesarjanaan muslim kembali pada founding father golongan Mu’tazilah, yaitu Wasil bin ‘Ata’ (w. 131/748). Dalam konteks ini Wasil, sebagaimana dijelaskan Hansu, berpegang pada pendapat di kalangan umum bahwa khabar yang dapat diterima sebagai hujjah atau bukti yang tidak dapat dibantah, yakni ketika khabar tersebut ditransmisikan oleh banyak periwayat yang melaporkan peristiwa serupa dan para periwayat tersebut tidak dalam keadaan untuk bersekongkol satusama lain. Perkataan Wasil mengenai khabar yang dapat diterima sebagai hujjah ini, kata Hansu, merupakan ganti dari istilah mutawattir.
Mutawattir jika dilihat secara luas sebenarnya tercakup ke dalam tiga keilmuan, yakni teologi (Ilm al-Kalam), metodologi hukum Islam (Usul al-Fiqh), dan kritik hadis (‘Ulum al-Hadis). Tiga cabang keilmuan ini mengkaji teori tersebut, meskipun porsi yang diberikan pada terma mutawattir berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh besar tidaknya urgensitas serta kegunaan teori mutawattir dalam masing-masing cabang keilmuan.[1]
Kata ini dipergunakan dalam istilah ilmu hadis karena makna sanad secara bahasa dipandang sama dengan perbuatan para perawi hadis dan atau ulama hadis. Seorang perawi yang hendak menukilkan sebuah hadis, biasanya akan menyandarkan sanad tersebut kepada perawi yang berada di atasnya (gurunya), demikian seterusnya sampai kepada akhir (puncak) sanad. Juga dikarenakan ulama hadis telah menjadikan rangkaian perawi hadis (baca: sanad hadis) sebagai pegangan atau sebahagian syarat untuk menilai keshahihan hadis.
Ada kata lain yang maknanya hampir sama dengan sanad, yaitu isnad. Isnad adalah mengangkat suatu hadis kepada sumber yang meriwayatkannya. Artinya menjelaskan sanad dalam periwayatan suatu hadis (‘Ajjaj al-Khatib: 1989, 33). Tetapi pada prakteknya, penggunaan kedua istilah ini dalam satu pengertian sering terjadi. Ini tampak dari perkataan ulama hadis yang tidak pernah menyatakan ىور ﺚﯾﺪﺤﻟا اﺬھ ﺔﺤﯿﺤﺻ دﺎﻨﺳﺄﺑ melainkan dengan ungkapan ﺔﺤﯿﺤﺻ ﺪﯿﻧﺎﺳﺄﺑ ىور ﺚﯾﺪﺤﻟاﺬھ yaitu jamak dari isnad (al-Suyuthi: 1972, 41). Di smaping kata isnad, kata thariq (jalan) dan wajh terkadang juga dipakai untuk menggantikan istilah sanad, sebagaimana ditemukan pada perkataan sebahagian ulama hadis: “Hadis ini sampai kepada kami melalui ‘jalan’ atau ‘wajh’ ini”.[2]
Ditinjau dari segi kualitas sanad hadis, termasuk hadis yang shahih dan dapat diterima, serta dapat dijadikan hujjah atau sandaran kebenaran dari sebuah hukum yang dikandungnya. Ditinjau dari segi matannya, hadis ini termasuk aī dan memenuhi standar kesahihan matan hadis. Jihad dalam berbagai macam bentuknya merupakan suatu keniscayaan dalam setiap agama. Islam yang mempunyai prinsip utama al-salam dan rahmatan lil alamin selalu mengedepankan kedamaian, jihad dengan nyawa dan senjata bukanlah sebuah pilihan utama melainkan alternative terakhir yang harus ditempuh untuk menciptakan sebuah kemaslahatan dan mencegah madharat dari siapapun dan apapun.[3]
Kajian tentang mutawatir dalam kesarjanaan hadis memang tidak begitu populer. Hal ini dapat dilihat dari pembahasannya yang sangat minim dalam kitab-kitab ulum al-Hadis. Di samping itu juga, kemunculan teori ini dalam studi hadis memerlukan waktu yang cukup lama.
Dimulai baru pada era Ibn al-Salah al-Syahrazuri (w. 643/1245), para sarjana hadis mulai mengkaji konsep tersebut dan mengaplikasinya pada hadis, yang kemudian juga membaginya dalam dua kategori, yakni mutawa tir lafzi  dan mutawatir ma‘nawi. Secara general, diakui bahwa mutawatir ma‘nawi  lebih banyak daripada mutawatir lafzi.2 Kajian mengenai teori ini juga menarik perhatian para pemerhati studi hadis di Barat, salah satunya adalah G.H.A. Juynboll. Lewat beberapa penelitiannya, ia mengkaji teori tersebut secara kritis. Untuk itulah, dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai pemikiran Juynboll tentang teori hadis mutawatir.
Pada perkembangan penelitian Juynboll selanjutnya sebagai kontinuitas pemikirannya dengan metode common link, ia dengan kongklusi yang lebih meyakinkan menyatakan bahwa dalam literatur hadis tidak akan mungkin ditemukan hadis mutawatir lafzi atau dengan maksud lain ia hanyalah sebuah teori yang tidak akan pernah dapat direalisasikan. Sedangkan untuk mutawatir ma’nawi hanya terjadi pada sejumlah kasus yang terbatas dengan kriteria yang tidak baku dan tidak tersusun secara jelas. Apabila dipaparkan secara individual, maka tidak bisa masuk dalam kriteria mutawatir.[4]
pemakaian sanad dalam Islam Menurut al-Shadiq Basyir Nashr (1992: 64), tidak ada keterangan yang detail kapan dan siapa yang menggunakannya pertama kali dari generasi pertama Islam (shahabat). Ketika Rasulullah saw masih hidup, kebanyakan para shahabat tidak terlalu mementingkan persoalan sanad. Ini dikarenakan mereka masih saling mempercayai, menjaga dan mempunyai komitmen dengan keIslaman mereka. Sudah menjadi kebiasaan di kalangan shahabat untuk saling bertanya dan menyampaikan hadis. Bahkan di antara mereka membuat aturan khusus untuk aling menggantikan dalam menghadiri majelis Rasulullah saw, seperti yang dilakukan Umar dan tetangganya. Karena itu, merupakan suatu hal yang wajar apabila dalam menyampaikan sebuah berita (hadis), mereka menggunakan ungkapan ‘Nabi berbuat begini - begitu’ atau ‘Nabi berkata ini - itu’. Metode-metode seperti inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kelahiran sistem sanad. Dan inilah awal penggunaan sistem tersebut dalam Islam.
Kaedah keshahihan sanad hadis merupakan bahagian dari kaedah keshahihan hadis yang digunakan ulama dalam mensyaratkan penerimaan suatu hadis. Benih- benih keshahihan sendiri telah muncul pada zaman Nabi saw dan shahabat. Imam al- Syafi’i, al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya dari periode mutaqaddimin telah memperjelas benih-benih itu dan menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan riwayatkan. Tetapi mereka belum menyebutkannya secara eksplisit. Baru pada periode muta’akhirin yang melanjutkan usaha mereka, kaedah keshaihan hadis disempurnakan rumusannya (Syuhudi Ismail, Metode: 1992, 63-64).[5]
DAFTAR PUSTAKA
Ezra, Michael. “Muhammad Ali.” TAHDIS Vol 7, no. No 1 (2016): hlm.52-63.
Juynboll, Pemikiran G H A, and Benny Afwadzi. “TENTANG HADIS MUTAWA < TIR.” Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an Dan Hadis Vol 12, no. No 2 (2011): hlm.325-351.
Nadhiran, Hedhri. “KRITIK SANAD HADIS: Tela’ah Metodologis” Vol, no. No (1996): hlm.1-14.
Perkembangan, Pergeseran D A N. “TERMA MUTAWATTIR DALAM STUDI HADIS.” Islamuna Vol 4, no. No 1 (2017): hlm.32-61.
И.В.Иванов, О.В.Ковалишина, О.Р.Швабский. “PEMAHAMAN SUNNAH DAN PENGEMBANGAN ILMU HADIS.” MIYAH, Vol 13, no. No 02 (2017): hlm.227-248.


[1]Pergeseran D A N Perkembangan, “TERMA MUTAWATTIR DALAM STUDI HADIS,” Islamuna Vol 4, no. No 1 (2017): hlm.32-61.
                [2]О.Р.Швабский И.В.Иванов,О.В.Ковалишина,“PEMAHAMAN SUNNAH DAN PENGEMBANGAN ILMU HADIS,” MIYAH, Vol 13, no. No 02 (2017): hlm.227-248.
[3]Michael Ezra, “Muhammad Ali,” TAHDIS Vol 7, no. No 1 (2016): hlm.52-63.
[4]Pemikiran G H A Juynboll and Benny Afwadzi, “TENTANG HADIS MUTAWA < TIR,” Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an Dan Hadis Vol 12, no. No 2 (2011): hlm.325-351.
[5]Hedhri Nadhiran, “KRITIK SANAD HADIS: Tela’ah Metodologis” Vol, no. No (1996): hlm.1-14.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGERTIAN HADIS, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR