PEMBAGIAN HADIS: SHAHIH,HASAN, DAN DHAIF
PEMBAGIAN
HADIS DARI SEGI KUALITAS SANAD: SHAHIH , HASAN,DAN DHA’IF
A.KATA
PENGANTAR
Hadis
merupakan sumber ajaran agama islam kedua yang telah di bukukan pada masa
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, khilafah kelima Bani Umayyah. Sedangkan
sebelumnya hadis-hadis Nabi SAW, masih terdengar dalam ingatan para
sahabat untuk kepentingan dan pegangan
mereka sendiri.
Umat islam di dunia harus menyadari
bahwa hadis Rasulullah SAW sebagai
pedoman hidup yang kedua setelah
alqur’an. Tingkah laku manusia yang tidak di tegaskan ketentuan hukumnya,cara
mengamalkannya, tidak di rinci dengan ayat alqur’an secara mutlak dan secara jelas, hal ini
membuat para muhadisin sadar akan perlunya mencari penyelesaian dalam hal
tersebut dengan hadis.
Dalam meneliti kekuatan hadis serta
kelemahan hadis dan untuk di jadikan
hujjah hukum, serta untuk mengamalkan hadis perlu di fahami hadis-hadis yang
berkembang baik dari segi kualitas dan kuantitas. Dalam artikel ini penulis akan membahas tentang : Hadis shahih, Hadis
hasan, dan Hadis dha’if. Disini penulis
sangat mengharapkan bahwa pembaca dapat memahami dan mengerti tentang
pembahasan yang ditulis dalam artikel ini, dan juga semoga bermanfaat.
B.PEMBAGIAN
HADIS
1.Hadis
Shahih
a.Pengertian Hadis Shahih
Kata shahih menurut bahasa dari kata
shahha, yashihhu, suhhan wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti
yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang benar. Para ulama‟
biasa menyebut kata shahih itu sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit). Maka
hadits shahih menurut bahasa berarti hadits yang sah, hadits yang sehat atau
hadits yang selamat. Hadits Shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah, sebagai berikut
: “Hadits yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan leh (perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak
ada kejanggalan dan tidak ber‟illat”. Ibnu Hajar
al-Asqalani, mendefinisikan lebih ringkas yaitu : “Hadits yang diriwayatkan oleh
orang–orang yang adil, sempurna kedzabittannya, bersambung sanadnya, tidak ber‟illat
dan tidak syadz”. Dari kedua pengertian di atas maka dapat difahami bahwa hadits
shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sanadnya bersambung,
perawinya yang adil, kuat ingatannya atau kecerdasannya, tidak ada cacat atau
rusak. Menurutnya
hadis shahih adalah:
Artinya: Hadis shahih adalah hadis yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil dan dhabith, berasal dari perawi
yang juga ‘adil dan dhabith hingga kepada akhir sanad, serta tidak terdapat
syaz (kejanggalan) ‘illat (cacat tersembunyi).
Para ulama menegaskan
bahwa definisi hadis shahih ini sekaligus menjadi syarat keshahihan sebuah
hadis. Mereka sepakat bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi sebuah hadis
agar dapat dikatakan shahih. Kelima syarat itu adalah sanad bersambung, perawi
‘adil dan dhabith, terhindar dari unsur syaz dan ‘illat. Tetapi dalam tataran
aplikatif, lima syarat ini berkembang menjadi menjadi tujuh macam, yaitu
kelimanya berlaku untuk menguji keshahihan sanad dan dua yang terakhir juga
dipakai untuk menetapkan keshahihan matan.2 Dari penetapan persyaratan ini,
ulama pada ummumnya menyatakan bahwa hadis yang sanadnya shahih belum tentu
matan- nya juga shahih. Demikian pula sebaliknya, matan yang shahih tidak
menjamin [1]sanadnya
juga shahih. Jadi keshahihan hadis mencakup kedua unsur pembentuk hadis
tersebut, sanad dan matan.
Hadis dapat dinilai berkualitas s}ah}îh}
apabila memenuhi beberapa syarat, yakni bersambung sanadnya, para periwayat
berstatus ‘adl, kuat hafalannya, tidak ada shadh dan ‘illah. Pembagian tersebut
berlangsung hingga masa Muhammad b. „Isa b. S}aurah b. Mûsa b. al-Tirmidhî
(209- 279 H). Pada masa itu kualitas hadis mengalami perkembangan, pembagiannya
tidak hanya terbatas pada s}ah}îh} dan d}a‘îf. al-Tirmidhî yang pertama kali
mengutarakan adanya klasifikasi lain antara s}ah}îh} dan d}a‘îf, yakni h}asan.
Klasifikasi baru yang diberikan al-Tirmidhî atas hadis dapat dilihat dalam
karya magnum opus yang terkenal dengan nama Sunan al- Tirmidhî. Bahkan, Ibn Salâh
mengungkapkan bahwa kitab itu merupakan rujukan pokok untuk mengetahui hadis hasan.
Juz 1 halaman 134, pada halaman tersebut
al-Suyuti menyebutkan perbedaan pendapat diantara para ulama tentang kreteria
hadis sahih menurut Imam Bukhari dan imam Muslim, beliau menyebutkan pendapat
Ibnu Thahir kemudian pendapat al-'Iraqi dan diakhiri dengan pendapat Ibnu Hajar
dengan tanpa mengomentari sma sekali.[2]
b.Syarat-syarat Hadis Shahih
Menurut ta‟rif
muhadditsin, maka dapat difahami bahwa suatu hadits dapat dikatakan shahih,
apabila telah memenuhi lima syarat :
a. Sanadnya
bersambung Yang dimaksudsanad bersambung adalah tiap–tiap periwayatan dalam
sanad hadits menerima periwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya,
keadaan ini berlangsung demikian sampai akhir anad dari hadits itu.
b. Periwayatan bersifat
adil Adil di sini adalah periwayat seorang muslim yang baligh, berakal sehat,
selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diridari perbuatan – perbuatan
maksiat.
c. Periwayatan
bersifat dhabit Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah
didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya.
d. Tida Janggal atau
Syadz Adalah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain yang
sudahdiketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
e. Terhindar dari „illat (cacat) Adalah hadits
yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan adanya hal – hal yang tidak bak,
yang kelihatannya samar – samar.
c.Pembagian Hadis Shahih
Para ulama‟
ahli hadits membagi hadits–hadits
menjadi dua macam yaitu :
a.
Hadits Shahih Li-Dzatih Ialah hadits shahih dengan sendiriya, artinya hadits
shahih yang memiliki lima syarat atau kiteria sebagaimana disebutkan pada
persyaratan di atas, atau hadits shahih adalah : “hadist yang melengkapi
setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita menerimanya” Dengan
demikian penyebutan hadist shahih li dzatih dalam pemakaiannya sehari-hari pada
dasarnya cukup memakai sebutan dengan hadist shahih. Adapun contoh hadist
Li-dzatih , yang artinya “Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah SAW bersabda: “Dasar
(pokok) Islam itu ada lima perkara : mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan
mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul Allah , menegakkan Sholat (sembahyang),
membayar zakat, menunaikan puasa dibulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji”
(HR. Bukhari dan Muslim).
b. Hadist Shahih Li-Ghairih. Yang dimaksud
dengan hadist Li-Ghairih adalah Hadist yang keshahihannya dibantu adanya
keterangan lain. Hadist pada kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada
aspek kedhabitannya.Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan
sebagai Hadist shahih. Contoh hadist shahih Li- Ghairihi : Artinya : “Dari Abu
Hurairah Bahwasahnya Rasulullah SAW bersabda: “sekiranya aku tidak menyusahkan
ummatku tentulah aku menyuruh mereka bersunggi (menyikat gigi) disetiap
mengerjakan Sholat.”(HR. Bukhari dan Tirmidzi).
c. Kehujjahan Hadist
Shahih Para Ulama‟ sependapat bahwa
hadist ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat islam,
namun mereka berbeda pendapat, Apabila hadist kategori ini dijadikan untuk
menetapkan soal-soal aqidah. Perbedaan di atas berpangkal pada perbedaan
penilaian mereka tentang faedah yang diperoleh dari hadist ahad yang shahih,
yaitu apakah hadist semacam itu member faedah qoth‟i
sebagaimana hadist mutawatir, maka hadist-hadist tersebut dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan masalah-masalah aqidah.Akan tetapi yang menganggap
hanya member faidah zhanni, berarti hadist-hadist tersebut tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan soal ini. Para ulama dalam hal ini berbeda
pendapat, sebagai berikut :
Pertama : menurut sebagian ulama
bahwa hadist shahih tidak memberi faidah qath‟i
sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan soal aqidah.
Kedua
: menurut An-Nawawi bahwa hadist-hadist shahih yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim memberikan qaidah qath‟i.
Ketiga
: Pendapat Ibn Hazm, bahwa semua hadist shahih memberikan faidah qath‟i,
tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama di atas atau bukan jika
memenuhi syarat ke shahih-hannya, adalah sama dalam memberikan faidahnya.[3]
2.Hadis
Hasan
1. Pengertian Hadist
Hasan Menurut pendapat Ibnu Hajar, ”Hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan
oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya,
tidak cacat dan tidak ganjil.”38 Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai
berikut :
“Tiap-tiap hadist yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh
dusta (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut)
diriwayatkan pula melalui jalan lain”.
Dari uraian di atas maka
dapat difahami bahwa hadist Hasan tidak memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya
kurang kesempurnaan hafalannya. Disamping itu pula hadist hasan hampir sama
dengan hadist shahih, perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadist hasan
rawinya tidak kuat hafalannya.
Istilah
hasan sebenarnya sudah ada sebelum al-Tirmidhî. Penggunaan istilah itu tidak
terbatas pada pemaknaan hadis h}asan yang dikenal pada masanya, melainkan
mempunyai arti yang luas sesuai dengan makna dilihat dari segi kebahasaannya.
Sebab itu, penggunaan istilah h}asan kadangkala digunakan untuk menyebut hadis
sahîh dan terkadang juga digunakan untuk menyebut hadis gharîb.[4]
2. Syarat-syarat Hadist
Hasan Adapun syarat-syaratv yang harus dipenuhi bagi suatu hadist yang
dikategorikan sebagai hadist hasan, yaitu:
a. Para perawinya
yang adil,
b. Ke-Dhabith-an
perawinya dibawah perawi Hadist shahih,
c. Sanad-sanadnya
bersambung,
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
e. Tidak mengandung „illat.
3. Pembagian Hadist Hasan Para ulama hadist
membagi Hasan menjadi dua bagian yaitu :
a. Hadist Hasan Li-Dzatih Yang dimaksud hadist
hasan Li-Dzatih adalah hadist hasan dengan sendirinya, yakni hadist yang telah
memenuhi persyaratan hadist hasan yang lima. Menurut Ibn Ash-Shalah, pada
hadist hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya
ingatannya atau daya kekuatan hafalan belum sampai kepada derajat hafalan para
perawi yang shahih.40 Contoh Hadist Hasan Li-Dzatih adalah sebagai berikut :
Artinya :”Dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah SAW bersabda :Barang siapa menuntut
ilmu pengetahuan karena selain Allah atau bertujuan selain Allah maka,
tempatnya di dalam Neraka”.
b. Hadist Hasan
Li-Ghairih Hadist Hasan Li-Ghairih adalah hadist yang sanadnya tidak sepi dari
seorang mastur-tak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak
tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan hadistnya adalah baik
berdasarkan pernyataan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain”.
Hadist Hasan Li-Ghairihi ialah Hadist Hasan yang bukan dengan sendirinya,
artinya Hadist yang menduduki kualitas Hasan, karena dibantu oleh keterangan
Hadist lain yang sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang pertama itu terangkat
derajatnya oleh Hadist yang kedua, dan yang pertama itu disebut Hadist Hasan.
Contoh sebagai
berikut : Rasulullah SAW, bersabda :Hak bagi seorang Muslim mandi di hari Jum‟at,
hendak mengusap salah seorang dari mereka wangi-wangian keluarganya, jika ia
tidak memperoleh airpun cukup dengan wangi- wangian”.(H.R.Ahmad). Hadist dapat
menjadi Hadist Hasan Li-Ghairih, karena dibantu oleh Hadist yang lain semakna
dengannya atau karena banyak yang meriwayatkannya.
c. Kehujjahan Hadist
Hasan Sebagaimana Hadist Shahih, menurut para ulama ahli Hadist, bahwa Hadist
Hasan, baik Hasan Li-dzatihi maupun Hasan Li-Ghairihi, juga dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan suatu hukum, harus diamalkan. Hanya saja terdapat
perbedaan pandangan diantara mereka dalam soal penempatan Rutbah (urutannya),
yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing.
3.Hadis
Dha’if
1. Pengertian Hadist
Dhaif Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy
yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti
Hadist yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat. Secara Terminilogis, para
ulama mendefinisikan secara berbeda-beda. Akan tetapi pada dasarnya mengandung
maksud yang sama, Pendapat An-Nawawi : “Hadist yang didalamnya tidak terdapat
syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist Hasan.”
Sampai pertengahan abad ketiga hijri,
para Ahli hadis mengklasifikasikan hadis dengan meninjau sisi kualitasnya
menjadi dua; hadis sbabib dan hadis dbay Baru Imam al-Tirmidzi (w.279 H) yang
menyodorkan pembagian hadis menjadi tiga, dengan menambah hadis basan.
Sebenarnya, persyaratan hadis basan itu hampir sama dengan persyaratan hadis
sbabib. Perbedaanya hanya dalam ha1 kedbabitan rawi saja. Dalam hadis shabib
kedbabitan rawi disyaratkan mencapai tingkat paripurna (al-dbabitb al-tamm).
Sementara dalam hadis basan kedbabitan rawi itu hanya pada peringkat cukup.
Kendati dalam otoritasnya sebagai sumber syariat Islam, hadis basan sama
statusnya dengan hadis sbabib, namun dalam perjalanan sejarah ilmu hadis,
istilah hadis bmanini ternyata tidak hilang dari peredaran. Bahkan sampai
sekarang istilah ini masih eksis. Hal ini merupakan suatu bukti adanya pengaruh
Imam al- Tirmizi dalam ilrnu hadis.[5]
Hadis tersebut tidak
bertentangan dengan qiyas dan pokok-pokok syariah sama seperti yang dilakukan
oleh Imam Abu Hanifah. Hal ini karena Imam Malik lebih mengedepankan qiyas dari
pada hadis ahad karena qiyas merupakan hujah berdasarkan kesepakatan para
shahabat. Oleh karena itu, berhujah dengan al- Qur‘an, Sunah dan Ijma lebih
kuat dari pada berhujah dengan hadis ahad.[6]
2.
Pembagian Hadits Dhaif
a. Dhaif dari sudut
sandaran matannya. Dhaif dari sudut sandaran matannya, maka hal ini terbagi dua
macam, yaitu:
1) Hadits Mauquf,
ialah Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan, perbuatan
dan taqrirnya. Sebagai contoh Ibnu Umar berkata: Bila kau berada diwaktu sore,
jangan menunggu datangnya diwaktu pagi hari, dan bila kau berada diwaktu pagi
jangan menunggu datangnya waktu sore hari, Ambillah dari waktu sehatmu
persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu.”
(Riwayat Bukhari).
2) Hadits Maqhtu, ialah Hadits yang
diriwayatkan dari Tabi‟in, berupa perkataan,
perbuatan atau taqrirnya. Contoh : seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang
Tabi‟in:
“Termasuk Sunnah,
ialah mengerjakan sembahyang 12 rakaat setelah sembahyang idul fitri , dan 6
rakaat sembahyang idul Adha.
b. Dhaif dari sudut
matannya. Hadits Syadz, ialah Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang
tsiqah atau terpercaya, akan tetapi kandungan haditsnya bertentangan dengan
(kandungan Hadits) yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat ke-
tsiqahannya. Contohnya, “Rasulullah SAW, bila telah selesai sembahyang sunnat
dua rakaat fajar, beliau berbaring miring diatas pinggang kanannya.”
HaditsHadits Bukhari
diatas yang bersanad Abdullah bin Yazid, Said bin Abi Ayyub, Abul Aswad, Urwah
bin Zubair dan Aisyah r.a dan riwayat dari rawi-rawi yang lain yang lebih
tsiqah yang meriwayatkan atas dasar fiil (perbuatan Nabi).
c. Dhaif dari salah
satu sudutnya, baik sanad ataupun matan secara bergantian. Yang dimaksud bergantian
disini adalah ke-Dhaifan tersebut kadang-kadang terjadi pada sanad dan
kadang-kadang pada matan, yang termasuk hadits yaitu: 1. Hadits Maqlub, ialah
Hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahkan hadits lain), disebabkan
mendahulukan dan mengakhirkan. Tukar menukar yang dikarenakan mendahulukan
sesuatu pada satu dan mengakhirkan pada tempat lain, adakalanya terjadi pada
matan hadits dan adakalanya terjadi pada sanad hadits. Contoh: Tukar menukar
yang terjadi pada matan , Hadits Muslim dari Abu Hurairah r.a: Artinya: “... dan seseorang yang
bersedekah dengan sesuatu yang sedekah yang disembunyikan, hingga tangan
kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya”.
Hadits ini terjadi pemutarbalikan dengan Hadits riwayat Bukhari atau riwayat
Muslim Sendiri, pada tempat lain, yang berbunyi.
“(hingga tangan,
kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan tangan kanannya.)”. Tukar
menukar pada sanad dapat terjadi, misalnya rawi Ka‟ab
bin Murrah bertukar dengan Murrah bin Ka‟ab
dan Muslim bin Wahid, bertukar dengan Wahid dan Muslim.
2. Hadits Mudraf Kata
Mudraf menurut bahasa artinya yang disisipkan.Secara terminologi hadits mudraf
ialah hadits yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan.
3. Hadits Mushahhaf
Hadits Muhahhaf ialah Hadits yang terdapat perbedaan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh tsiqah, karena didalamnya terdapat beberapa huruf yang
diubah. Pengubahan ini juga bias terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga
maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna, dan maksud semula.
d. Dhaif dari sudut
matan dan sanadnya secara bersama-sama Yang termasuk hadits dhaif dari sudut
matan dan sanadnya secara bersama-sama yaitu:
1) Hadits Maudhu Hadits yang disanadkan dari
Rasululah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan,
melakukan dan menetapkan.
2) Hadits Munkar Ialah hadits yang hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur”.
e. Dhaif dari segi
persambungan sanadnya Hadits-hadits yang termasuk dalam kategori Dhaif atau lemah
dari sudut persambungan sanadnya ialah: Hadits Mursal, Hadits Mungqathi‟,
hadits Mu‟dhal, dan Hadits Mudallas.
1) Hadits Mursal Hadits Mursal ialah hadits
yang gugur sanadnya setelah tabi‟in.
Yang dimaksud gugur disini ialahnama sanad terakhir, yakni nama sahabat tang
tidak disebutkan, padahal sahabat adalah oang pertama menerima Hadits dari
Rasulullah SAW.
2) Hadits Mungqathi‟
Ialah Hadits yang gugur pada sanadnya. Seorang perawi atau pada sanad tersebut
disebutkan seorang yang tidak dikenal namanya.
3) Hadits Mu‟dhal
Hadits yang gugur dua sanadnya atau lebih, secara berturut-turut, baik
(gugurnya itu) antara sahabat dengan tabi‟in,
atau antara tabi‟in dengan tabi‟in.
f. Berhujjah dengan
Hadits Dhaif Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhaif bukan
maudhu. Adapun hadits dhaif bukan hadits maudhu‟
maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam
hal ini ada beberapa pendapat:
1. Melarang secara mutlak .
2. Membolehkan Ibnu Hajar Al-Asqalani,
ulama hadits yang memeperbolehkan berhujjah dengan hadits dhaif untuk keutamaan
amal, memberikan 3 syarat:
a. Hadits Dhaif itu tidak keterlaluan.
b. Dasar Amal yang ditunjukan oleh hadits
Dhaif tersebut, masih dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang
dapat diamalkan (Shahih atau Hasan)
c. Dalam
mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber
dari Nabi. Tetapi tujuan ikhtiyath (hati-hati) belaka Dari beberapa uraian
diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa apabila menggunakan hadits Dhaif untuk
dijadikan suatu sugesti amalan maka dapatlah kita pergunakan hal ini memotifasi
bagi masyarakat.Untuk memperbanyak amalan-amalannya,hadits yang diteranhkan
harus selektif mungkin juga sampai tidak masuk akal atau rasional.[7]
[1]
Hedhri Nadhiran, “KRITIK SANAD HADIS: Tela’ah Metodologis,” KRITIK SANAD HADIS Vol 1, no. No 1
(1996): hlm.1-14.
[2]D A N Hadis, Hasan Dalam, and Kitab Tadri, “Metode Selektif
Al-Suyu><t{i< Atas Pendapat Ulama Tentang Hadis S{ahi>h Dan Hadis
Hasan Dalam Kitab Tadri<b Al-Ra<wi<,” Dirasat Islamiyah Vol 3, no. No 1 (2015): hlm.107-149.
[4]Ahmad Suhendra and Daerah Istimewa Yogyakarta, “KRITERIA HADIS H { ASAN
MENURUT AL-SUYÛT { Î DALAM AL- JÂMI ‘ AL -S } AGHÎR,” Keilmuan Tafsir Hadis Vol 4, no. No 2 (2014): hlm.343-355.
[5]Muhammad Saw and Muhammad Saw, “J + ~ i L ~ ~ d K,” TARJIH EDIS Vol 1, no. No 7 (2004): hlm.33-41.
[6]Izzatus Sholihah, “Ilmu Ilmu Hadis,” Al-Hikmah
Jurnal Kependidikan Sejarah Vol 04, no. No 01 (2016): hlm.1-11.
Komentar
Posting Komentar