PEMBAGIAN HADIS: SHAHIH,HASAN, DAN DHAIF


PEMBAGIAN HADIS DARI  SEGI  KUALITAS SANAD: SHAHIH , HASAN,DAN DHA’IF

A.KATA PENGANTAR
          Hadis merupakan sumber ajaran agama islam kedua yang telah di bukukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, khilafah kelima Bani Umayyah. Sedangkan sebelumnya hadis-hadis Nabi SAW, masih terdengar dalam ingatan para sahabat  untuk kepentingan dan pegangan mereka sendiri.
          Umat islam di dunia harus menyadari bahwa hadis  Rasulullah SAW sebagai pedoman hidup  yang kedua setelah alqur’an. Tingkah laku manusia yang tidak di tegaskan ketentuan hukumnya,cara mengamalkannya, tidak di rinci dengan ayat alqur’an  secara mutlak dan secara jelas, hal ini membuat para muhadisin sadar akan perlunya mencari penyelesaian dalam hal tersebut dengan hadis.
          Dalam meneliti kekuatan hadis serta kelemahan hadis  dan untuk di jadikan hujjah hukum, serta untuk mengamalkan hadis perlu di fahami hadis-hadis yang berkembang baik dari segi kualitas dan kuantitas. Dalam  artikel ini penulis  akan membahas tentang : Hadis shahih, Hadis hasan, dan Hadis dha’if.  Disini penulis sangat mengharapkan bahwa pembaca dapat memahami dan mengerti tentang pembahasan yang ditulis dalam artikel ini, dan juga semoga bermanfaat.

B.PEMBAGIAN HADIS
1.Hadis Shahih
   a.Pengertian Hadis Shahih
          Kata shahih menurut bahasa dari kata shahha, yashihhu, suhhan wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang benar. Para ulama biasa menyebut kata shahih itu sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit). Maka hadits shahih menurut bahasa berarti hadits yang sah, hadits yang sehat atau hadits yang selamat. Hadits Shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah, sebagai berikut : “Hadits yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung, diriwayatkan leh (perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak berillat. Ibnu Hajar al-Asqalani, mendefinisikan lebih ringkas yaitu : “Hadits yang diriwayatkan oleh orang–orang yang adil, sempurna kedzabittannya, bersambung sanadnya, tidak berillat dan tidak syadz”. Dari kedua pengertian di atas maka dapat difahami bahwa hadits shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sanadnya bersambung, perawinya yang adil, kuat ingatannya atau kecerdasannya, tidak ada cacat atau rusak. Menurutnya hadis shahih adalah:  
Artinya: Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil dan dhabith, berasal dari perawi yang juga ‘adil dan dhabith hingga kepada akhir sanad, serta tidak terdapat syaz (kejanggalan) ‘illat (cacat tersembunyi).
       Para ulama menegaskan bahwa definisi hadis shahih ini sekaligus menjadi syarat keshahihan sebuah hadis. Mereka sepakat bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi sebuah hadis agar dapat dikatakan shahih. Kelima syarat itu adalah sanad bersambung, perawi ‘adil dan dhabith, terhindar dari unsur syaz dan ‘illat. Tetapi dalam tataran aplikatif, lima syarat ini berkembang menjadi menjadi tujuh macam, yaitu kelimanya berlaku untuk menguji keshahihan sanad dan dua yang terakhir juga dipakai untuk menetapkan keshahihan matan.2 Dari penetapan persyaratan ini, ulama pada ummumnya menyatakan bahwa hadis yang sanadnya shahih belum tentu matan- nya juga shahih. Demikian pula sebaliknya, matan yang shahih tidak menjamin [1]sanadnya juga shahih. Jadi keshahihan hadis mencakup kedua unsur pembentuk hadis tersebut, sanad dan matan.
     Hadis dapat dinilai berkualitas s}ah}îh} apabila memenuhi beberapa syarat, yakni bersambung sanadnya, para periwayat berstatus ‘adl, kuat hafalannya, tidak ada shadh dan ‘illah. Pembagian tersebut berlangsung hingga masa Muhammad b. „Isa b. S}aurah b. Mûsa b. al-Tirmidhî (209- 279 H). Pada masa itu kualitas hadis mengalami perkembangan, pembagiannya tidak hanya terbatas pada s}ah}îh} dan d}a‘îf. al-Tirmidhî yang pertama kali mengutarakan adanya klasifikasi lain antara s}ah}îh} dan d}a‘îf, yakni h}asan. Klasifikasi baru yang diberikan al-Tirmidhî atas hadis dapat dilihat dalam karya magnum opus yang terkenal dengan nama Sunan al- Tirmidhî. Bahkan, Ibn Salâh mengungkapkan bahwa kitab itu merupakan rujukan pokok untuk mengetahui hadis hasan.
      Juz 1 halaman 134, pada halaman tersebut al-Suyuti menyebutkan perbedaan pendapat diantara para ulama tentang kreteria hadis sahih menurut Imam Bukhari dan imam Muslim, beliau menyebutkan pendapat Ibnu Thahir kemudian pendapat al-'Iraqi dan diakhiri dengan pendapat Ibnu Hajar dengan tanpa mengomentari sma sekali.[2]
     b.Syarat-syarat Hadis Shahih
          Menurut tarif muhadditsin, maka dapat difahami bahwa suatu hadits dapat dikatakan shahih, apabila telah memenuhi lima syarat :
a. Sanadnya bersambung Yang dimaksudsanad bersambung adalah tiap–tiap periwayatan dalam sanad hadits menerima periwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan ini berlangsung demikian sampai akhir anad dari hadits itu.
b. Periwayatan bersifat adil Adil di sini adalah periwayat seorang muslim yang baligh, berakal sehat, selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diridari perbuatan – perbuatan maksiat.
c. Periwayatan bersifat dhabit Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya.
d. Tida Janggal atau Syadz Adalah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain yang sudahdiketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
 e. Terhindar dari „illat (cacat) Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan adanya hal – hal yang tidak bak, yang kelihatannya samar – samar.
    c.Pembagian Hadis Shahih
          Para ulama ahli hadits membagi haditshadits menjadi dua macam yaitu :
    a. Hadits Shahih Li-Dzatih Ialah hadits shahih dengan sendiriya, artinya hadits shahih yang memiliki lima syarat atau kiteria sebagaimana disebutkan pada persyaratan di atas, atau hadits shahih adalah : “hadist yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita menerimanya” Dengan demikian penyebutan hadist shahih li dzatih dalam pemakaiannya sehari-hari pada dasarnya cukup memakai sebutan dengan hadist shahih. Adapun contoh hadist Li-dzatih , yang artinya “Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah SAW bersabda: “Dasar (pokok) Islam itu ada lima perkara : mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul Allah , menegakkan Sholat (sembahyang), membayar zakat, menunaikan puasa dibulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji” (HR. Bukhari dan Muslim).
   b. Hadist Shahih Li-Ghairih. Yang dimaksud dengan hadist Li-Ghairih adalah Hadist yang keshahihannya dibantu adanya keterangan lain. Hadist pada kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek kedhabitannya.Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai Hadist shahih. Contoh hadist shahih Li- Ghairihi : Artinya : “Dari Abu Hurairah Bahwasahnya Rasulullah SAW bersabda: “sekiranya aku tidak menyusahkan ummatku tentulah aku menyuruh mereka bersunggi (menyikat gigi) disetiap mengerjakan Sholat.”(HR. Bukhari dan Tirmidzi).
   c. Kehujjahan Hadist Shahih Para Ulama sependapat bahwa hadist ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat islam, namun mereka berbeda pendapat, Apabila hadist kategori ini dijadikan untuk menetapkan soal-soal aqidah. Perbedaan di atas berpangkal pada perbedaan penilaian mereka tentang faedah yang diperoleh dari hadist ahad yang shahih, yaitu apakah hadist semacam itu member faedah qothi sebagaimana hadist mutawatir, maka hadist-hadist tersebut dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan masalah-masalah aqidah.Akan tetapi yang menganggap hanya member faidah zhanni, berarti hadist-hadist tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan soal ini. Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat, sebagai berikut :
   Pertama : menurut sebagian ulama bahwa hadist shahih tidak memberi faidah qathi sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan soal aqidah.
   Kedua : menurut An-Nawawi bahwa hadist-hadist shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim memberikan qaidah qathi.
   Ketiga : Pendapat Ibn Hazm, bahwa semua hadist shahih memberikan faidah qathi, tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama di atas atau bukan jika memenuhi syarat ke shahih-hannya, adalah sama dalam memberikan faidahnya.[3]
2.Hadis Hasan
   1. Pengertian Hadist Hasan Menurut pendapat Ibnu Hajar, ”Hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.”38 Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut :
Tiap-tiap hadist yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”.
Dari uraian di atas maka dapat difahami bahwa hadist Hasan tidak memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya kurang kesempurnaan hafalannya. Disamping itu pula hadist hasan hampir sama dengan hadist shahih, perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadist hasan rawinya tidak kuat hafalannya.
         Istilah hasan sebenarnya sudah ada sebelum al-Tirmidhî. Penggunaan istilah itu tidak terbatas pada pemaknaan hadis h}asan yang dikenal pada masanya, melainkan mempunyai arti yang luas sesuai dengan makna dilihat dari segi kebahasaannya. Sebab itu, penggunaan istilah h}asan kadangkala digunakan untuk menyebut hadis sahîh dan terkadang juga digunakan untuk menyebut hadis gharîb.[4]
    2. Syarat-syarat Hadist Hasan Adapun syarat-syaratv yang harus dipenuhi bagi suatu hadist yang dikategorikan sebagai hadist hasan, yaitu:
a. Para perawinya yang adil,
b. Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih,
c. Sanad-sanadnya bersambung,
 d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
 e. Tidak mengandung „illat.
    3. Pembagian Hadist Hasan Para ulama hadist membagi Hasan menjadi dua bagian yaitu :
 a. Hadist Hasan Li-Dzatih Yang dimaksud hadist hasan Li-Dzatih adalah hadist hasan dengan sendirinya, yakni hadist yang telah memenuhi persyaratan hadist hasan yang lima. Menurut Ibn Ash-Shalah, pada hadist hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya atau daya kekuatan hafalan belum sampai kepada derajat hafalan para perawi yang shahih.40 Contoh Hadist Hasan Li-Dzatih adalah sebagai berikut : Artinya :”Dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah SAW bersabda :Barang siapa menuntut ilmu pengetahuan karena selain Allah atau bertujuan selain Allah maka, tempatnya di dalam Neraka”.
b. Hadist Hasan Li-Ghairih Hadist Hasan Li-Ghairih adalah hadist yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur-tak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan hadistnya adalah baik berdasarkan pernyataan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain”. Hadist Hasan Li-Ghairihi ialah Hadist Hasan yang bukan dengan sendirinya, artinya Hadist yang menduduki kualitas Hasan, karena dibantu oleh keterangan Hadist lain yang sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang pertama itu terangkat derajatnya oleh Hadist yang kedua, dan yang pertama itu disebut Hadist Hasan.
Contoh sebagai berikut : Rasulullah SAW, bersabda :Hak bagi seorang Muslim mandi di hari Jumat, hendak mengusap salah seorang dari mereka wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak memperoleh airpun cukup dengan wangi- wangian”.(H.R.Ahmad). Hadist dapat menjadi Hadist Hasan Li-Ghairih, karena dibantu oleh Hadist yang lain semakna dengannya atau karena banyak yang meriwayatkannya.
c. Kehujjahan Hadist Hasan Sebagaimana Hadist Shahih, menurut para ulama ahli Hadist, bahwa Hadist Hasan, baik Hasan Li-dzatihi maupun Hasan Li-Ghairihi, juga dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum, harus diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan pandangan diantara mereka dalam soal penempatan Rutbah (urutannya), yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing.

3.Hadis Dha’if
1. Pengertian Hadist Dhaif Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti Hadist yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat. Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda. Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama, Pendapat An-Nawawi : “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist Hasan.”
     Sampai pertengahan abad ketiga hijri, para Ahli hadis mengklasifikasikan hadis dengan meninjau sisi kualitasnya menjadi dua; hadis sbabib dan hadis dbay Baru Imam al-Tirmidzi (w.279 H) yang menyodorkan pembagian hadis menjadi tiga, dengan menambah hadis basan. Sebenarnya, persyaratan hadis basan itu hampir sama dengan persyaratan hadis sbabib. Perbedaanya hanya dalam ha1 kedbabitan rawi saja. Dalam hadis shabib kedbabitan rawi disyaratkan mencapai tingkat paripurna (al-dbabitb al-tamm). Sementara dalam hadis basan kedbabitan rawi itu hanya pada peringkat cukup. Kendati dalam otoritasnya sebagai sumber syariat Islam, hadis basan sama statusnya dengan hadis sbabib, namun dalam perjalanan sejarah ilmu hadis, istilah hadis bmanini ternyata tidak hilang dari peredaran. Bahkan sampai sekarang istilah ini masih eksis. Hal ini merupakan suatu bukti adanya pengaruh Imam al- Tirmizi dalam ilrnu hadis.[5]
       Hadis tersebut tidak bertentangan dengan qiyas dan pokok-pokok syariah sama seperti yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah. Hal ini karena Imam Malik lebih mengedepankan qiyas dari pada hadis ahad karena qiyas merupakan hujah berdasarkan kesepakatan para shahabat. Oleh karena itu, berhujah dengan al- Qur‘an, Sunah dan Ijma lebih kuat dari pada berhujah dengan hadis ahad.[6]
   2. Pembagian Hadits Dhaif
a. Dhaif dari sudut sandaran matannya. Dhaif dari sudut sandaran matannya, maka hal ini terbagi dua macam, yaitu:
       1) Hadits Mauquf, ialah Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya. Sebagai contoh Ibnu Umar berkata: Bila kau berada diwaktu sore, jangan menunggu datangnya diwaktu pagi hari, dan bila kau berada diwaktu pagi jangan menunggu datangnya waktu sore hari, Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu.” (Riwayat Bukhari).
    2) Hadits Maqhtu, ialah Hadits yang diriwayatkan dari Tabiin, berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Contoh : seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang Tabiin: Termasuk Sunnah, ialah mengerjakan sembahyang 12 rakaat setelah sembahyang idul fitri , dan 6 rakaat sembahyang idul Adha.
b. Dhaif dari sudut matannya. Hadits Syadz, ialah Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau terpercaya, akan tetapi kandungan haditsnya bertentangan dengan (kandungan Hadits) yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat ke- tsiqahannya. Contohnya, “Rasulullah SAW, bila telah selesai sembahyang sunnat dua rakaat fajar, beliau berbaring miring diatas pinggang kanannya.”
HaditsHadits Bukhari diatas yang bersanad Abdullah bin Yazid, Said bin Abi Ayyub, Abul Aswad, Urwah bin Zubair dan Aisyah r.a dan riwayat dari rawi-rawi yang lain yang lebih tsiqah yang meriwayatkan atas dasar fiil (perbuatan Nabi).
c. Dhaif dari salah satu sudutnya, baik sanad ataupun matan secara bergantian. Yang dimaksud bergantian disini adalah ke-Dhaifan tersebut kadang-kadang terjadi pada sanad dan kadang-kadang pada matan, yang termasuk hadits yaitu: 1. Hadits Maqlub, ialah Hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahkan hadits lain), disebabkan mendahulukan dan mengakhirkan. Tukar menukar yang dikarenakan mendahulukan sesuatu pada satu dan mengakhirkan pada tempat lain, adakalanya terjadi pada matan hadits dan adakalanya terjadi pada sanad hadits. Contoh: Tukar menukar yang terjadi pada matan , Hadits Muslim dari Abu Hurairah r.a:  Artinya: “... dan seseorang yang bersedekah dengan sesuatu yang sedekah yang disembunyikan, hingga tangan kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya”. Hadits ini terjadi pemutarbalikan dengan Hadits riwayat Bukhari atau riwayat Muslim Sendiri, pada tempat lain, yang berbunyi.
“(hingga tangan, kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan tangan kanannya.)”. Tukar menukar pada sanad dapat terjadi, misalnya rawi Kaab bin Murrah bertukar dengan Murrah bin Kaab dan Muslim bin Wahid, bertukar dengan Wahid dan Muslim.
2. Hadits Mudraf Kata Mudraf menurut bahasa artinya yang disisipkan.Secara terminologi hadits mudraf ialah hadits yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan.
3. Hadits Mushahhaf Hadits Muhahhaf ialah Hadits yang terdapat perbedaan dengan hadits yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena didalamnya terdapat beberapa huruf yang diubah. Pengubahan ini juga bias terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna, dan maksud semula.
d. Dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama Yang termasuk hadits dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama yaitu:
   1) Hadits Maudhu Hadits yang disanadkan dari Rasululah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan dan menetapkan.
   2) Hadits Munkar Ialah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur”.
e. Dhaif dari segi persambungan sanadnya Hadits-hadits yang termasuk dalam kategori Dhaif atau lemah dari sudut persambungan sanadnya ialah: Hadits Mursal, Hadits Mungqathi, hadits Mudhal, dan Hadits Mudallas.
   1) Hadits Mursal Hadits Mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah tabiin. Yang dimaksud gugur disini ialahnama sanad terakhir, yakni nama sahabat tang tidak disebutkan, padahal sahabat adalah oang pertama menerima Hadits dari Rasulullah SAW.
   2) Hadits Mungqathi Ialah Hadits yang gugur pada sanadnya. Seorang perawi atau pada sanad tersebut disebutkan seorang yang tidak dikenal namanya.
   3) Hadits Mudhal Hadits yang gugur dua sanadnya atau lebih, secara berturut-turut, baik (gugurnya itu) antara sahabat dengan tabiin, atau antara tabiin dengan tabiin.
f. Berhujjah dengan Hadits Dhaif Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhaif bukan maudhu. Adapun hadits dhaif bukan hadits maudhu maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
    1. Melarang secara mutlak .
    2. Membolehkan Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama hadits yang memeperbolehkan berhujjah dengan hadits dhaif untuk keutamaan amal, memberikan 3 syarat:
 a. Hadits Dhaif itu tidak keterlaluan.
 b. Dasar Amal yang ditunjukan oleh hadits Dhaif tersebut, masih dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (Shahih atau Hasan)
c. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi. Tetapi tujuan ikhtiyath (hati-hati) belaka Dari beberapa uraian diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa apabila menggunakan hadits Dhaif untuk dijadikan suatu sugesti amalan maka dapatlah kita pergunakan hal ini memotifasi bagi masyarakat.Untuk memperbanyak amalan-amalannya,hadits yang diteranhkan harus selektif mungkin juga sampai tidak masuk akal atau rasional.[7]


[1] Hedhri Nadhiran, “KRITIK SANAD HADIS: Tela’ah Metodologis,” KRITIK SANAD HADIS Vol 1, no. No 1 (1996): hlm.1-14.
[2]D A N Hadis, Hasan Dalam, and Kitab Tadri, “Metode Selektif Al-Suyu><t{i< Atas Pendapat Ulama Tentang Hadis S{ahi>h Dan Hadis Hasan Dalam Kitab Tadri<b Al-Ra<wi<,” Dirasat Islamiyah Vol 3, no. No 1 (2015): hlm.107-149.
[3]“MACAM - MACAM HADITS DARI SEGI KUALITASNYA,” SARBANUN Vol 1, no. No 1 (1987):hlm. 345–56.
[4]Ahmad Suhendra and Daerah Istimewa Yogyakarta, “KRITERIA HADIS H { ASAN MENURUT AL-SUYÛT { Î DALAM AL- JÂMI ‘ AL -S } AGHÎR,” Keilmuan Tafsir Hadis Vol 4, no. No 2 (2014): hlm.343-355.
[5]Muhammad Saw and Muhammad Saw, “J + ~ i L ~ ~ d K,” TARJIH EDIS Vol 1, no. No 7 (2004): hlm.33-41.
[6]Izzatus Sholihah, “Ilmu Ilmu Hadis,” Al-Hikmah Jurnal Kependidikan Sejarah Vol 04, no. No 01 (2016): hlm.1-11.
[7]“MACAM - MACAM HADITS DARI SEGI KUALITASNYA.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGERTIAN HADIS, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR