ILMU AL-JARH WA TA'DIL

A.PENDAHULUAN
          Kedudukan hadis sebagai sumber ajaran islam setelah al-qur’an tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama.berhujjah dengan hadis shahih jelas tidak diperdebatkan lagi,maka demekianlah yang semestinya.namun bagaimana menentukan keshahihan suatu hadis merupakan kajian yang tidak sederhana.suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupa rasulullah saw.dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadis.untuk meneliti suatu keshahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadis riwayat yang objek kajiannya ialah bagaimana cara menerima,menyampaikan,kepada orang lain dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu ilmu hadis.
           Dalam menyampaikan dan mendewankan suatu hadis dinukilkan dan ditulkan apa adanya baik mengenai matan atau sanadnya.ilmu ini tidak membicarakan hal ihwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘adil,dhabith atau fasiq yang dapat berpengaruh terhadap shahih tidaknya suatu hadis.perihalnya perawi merupakan obyek kajian ilmu hadis di royah.karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan keshahihan suatu hadis ,maka ilmu hadis diroyah membahas secara khusus keadaan perawi.jalan untuk mengetahui keadaan perawimitu adalah melalui ilmu “al-jarh wa al-ta’dil.

B.Pengertian al-jarh
          Muhammad ‘Ajjal al-Khathib, seorang tokoh hadis kontemporer, dalam bukunya yang cukup terkenal, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, membagi Ilmu Rijalul Hadits menjadi dua bagian besar, Ilmu Tarikh al-Ruwah2 dan Ilmu Jarh wa Ta’dil. Jika Ilmu Tarikh al-Ruwah adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk kehidupan perawi hadits, meliputi misalnya kelahiran perawi, wafatnya, guru-gurunya, murid-muridnya, tempat tinggalnya, perlawatannya dalam rangka studi hadits, kapan ia memasuki suatu negeri, dan lain sebagainya. Sedangkan Ilmu Jarh wa Ta’dil, dapat dijelaskan sebagai berikut. Dari segi bahasa, jarh terambil dari kata dasar ja-ra-ha, artinya melukai. Sedang menurut pengertian ahli hadits, jarh artinya mencela atau mengkritik perawi hadits dengan ungkapan-ungkapan yang menghilangkan keadilan ataupun kedhabitannya. Sebaliknya, ta’dil menurut para ulama hadits adalah memuji perawi (tazkiyah al- rawi) dan menetapkannya sebagai seorang yang adil dan dhabit. Kedua ilmu ini (Ilmu Tarikh al-Ruwah dan ilmu al-Jarh wa al- Ta’dil) memang memiliki obyek material kajian yang sama, namun obyek formalnya berbeda. Obyek material keduanya adalah orang-orang yang dulu terlibat dalam periwayatan hadis pada abad ke-1 hingga abad ke-4 Hijriyah, jadi mereka sudah wafat ratusan tahun yang lalu. Namun obyek fomal keduanya berbeda.
             Jika Ilmu Tarikh al-Ruwah mengupas seluk-beluk sejarah hidup perawi secara global, mulai dari tahun lahir, orang tua, riwayat belajar, kapan wafat, dll., maka Ilmu Jarh wa Ta’dil mengupas seluk- beluk Sejarah hidup perawi secara spesifik, yakni bagaimana kualitas intelektual maupun kualitas moral perawi (dhabit atau tidak, jujur atau tidak), tsiqqah atau tidak). Singkatnya, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membicarakan kebaikan maupun keburukan orang-orang yang namanya tercantum dalam sanad sebuah hadis.[1]

           Dalam melaknkan jarh dan ta'dil aka.n teruugkap aib atau kepribadian perawi. Oleh karena itu dipermasala? hkan apakah ha! ini tidak sejalan de? ngan maksud firman Allah yang termaktub dalam surat Al-Hujarat ayat I 0, dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran hadits Nabi yang menyatakan. Menanggapi pennasalahan di atas Ajaj al-Khathib justru berpandangan sebaliknya clan mengatakan bahwa kaidah-kaidah Syari'ah yang umum telah menunjukkan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ihwal para parawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara al-sunnah (al-hadits). Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ  
 Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu                                       
    Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani seperti yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqi (1%8: 124) bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seorang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar di sekitar lima macam saja yakni bid'ah, mukhalafah, ghalath, jahalah al -ha, da'wa al-inqitha".Yang di maksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan. Jahalat al hal ialal1 tidak dikenal identitasnya, mak1,ud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima. Sedangkan da 'wa al? inqitha' ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda'wa perawi meutadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.  [2]                                                                                                                                          
                                                                                                                            
          Salah satu ideologi yang diterapkan oleh pemerintah Abbasiyyah pada saat itu adalah paham Alquran adalah makhluk Allah. Ini merupakan langkah awal al-Ma‘mun guna menerapkan paham mu’tazilah lebih jauh. Puncaknya, pada bulan rabi’u al-awwal – kira-kira empat bulan sebelum meninggal – al-Ma‘mun menulis surat untuk Gubernur Irak, Ishaq ibn Ibrahim, agar menguji setiap qadi dan saksi tentang doktrin khalq al-qur‘an. Jika ada qadi atau saksi yang tidak mengakui kemakhlukan Alquran, maka ia telah dianggap musyrik dan halal darahnya. Selain itu, al-Ma‘mun juga memerintahkan Ishaq ibn Abi Dawd untuk memanggil muhaddiin yang menetap di Baghdad dan sekitarnya agar menghadap khalifah. Bagi tokoh-tokoh hadith, proses mihnah akan dilakukan sendiri oleh al-Ma’mun. Muhaddisin yang dipanggil pada saat itu adalah Muhammad ibn Sa’d, Abu Muslim, Yahya ibn Ma‘in, Zahir ibn Harbin, Isma‘i ibn Dawd, Isma‘i ibn Abi Mas’ud, dan Ahmad ibn Ibrahim al-Dawraqi. Alasan pemanggilan tersebut adalah karena tokoh fiqh dan hadis pada saat itu sangat berpengaruh di masyarakat. Sehingga, pengakuannya akan semakin     menguatkan posisi ideologi mu’tazilah di tengah-tengah masyarakat.                  
        Selain itu, Yahya ibn Main juga terpengaruh oleh perkembangan hadis pada saat itu, khususnya ilmu jarhwa al-ta’dil. Selain itu, pada abad kedua dan ketiga hijriyah, perkembangan hadis mengalami masalah yang cukup hebat, yakni merebaknya hadis-hadis palsu. Penyebaran hadis-hadis palsu itu disebebkan oleh beberapa faktor, di antaranya kepentingan politik, orang-orang zindiq (Atheis), dan banyaknya tukang-tukang dongeng.[3]


        Di dalam penelitian berikutnya, mencari data-data yang vailed dari kitab-kitab rijal al-hadis, khususnya kepada kitab-kitab al-jarh wa al-ta’dil. Yang mana buku-buku tersebut adalah standar yang diakui umat Islam sebagai referensi dalam penelitian sejarah para periwayat hadis Nabi SAW. baik otobigrafinya, seperti nama, pengembaraan keilmuan, pembelajaran, domisili, tahun wafatnya dan komentar para ulama kritikus hadis kepada setiap periwayat hadis. Penelitian secara mendalam tentang sanad hadis Nabi sebagai guru, Nabi menggunakan metode dalam usaha mentransfer ilmu telah dilakukan. Adapun hasil temuan data-data dari sanad kedua hadis tersebut menjadi lampiran akan menjadi bahan analisis tetang penentuan kualifikasi kedua hadis yang diteliti. Kalau data-data dari ilmu al-jarh wa al-ta’di-lnya ditemukan dari komentar ulama kritikus hadis tetang sifat-sifat yang melekat pada setiap periwayat hadis ini menunjukkan kepada krediblitas periwayat yang baik dari tinggkat pertama, kedua, ketiga dan keempat, seperti: 1) Mu’awiyah bin Shaleh berkata yang diambil dari pendapat Yahya bin Mu’in diterang bahwa Zuhair bin Harb adalah periwayat hadis yang tsiqah (orang yang dapat dipercaya).
          Dari hasil temuan tentang data-data dari kitab al-jarh wa al-ta’dil untuk hadis tetang Nabi SAW. sebagai guru terdiri enam periwayat hadis. Imam Muslim meriwayatkan hadis ini sendiri tidak ada riwayat yang sama dengan redaksi hadis yang sama dari imam hadis yang lain. Atinya hadis ini dalam tingkatan periwayat teakhir hanya diriwayatkan oleh imam Muslim. Walaupun di dalam simbol ucapa kata-kata yang disampaikan oleh imam muslim dengan pakai istilah haddtsanaa menunjukkan arti kami atau banyak. Namunteman-temannya seperguruan tidak meneruskan meriwatkan hadis ini kepada imam hadis yang lain, seperti imam al-Bukhariy dan lain-lain. [4]

         Sebelum mengetahui maratib ta’dil, akan dibahas sekilas pengertian dari ta’dil. Sebagaimana diketahui bahwa pengertian ta’dil menurut bahasa artinya meluruskan, membetulkan, membersihkan. Sedangkan ta’dil menurut ilmu hadis adalah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi, apakah semua itu benar ada pada diri si rawi atau tidak. Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan martabat ta’dil. Berikut ini akan dikemukakan tiga pendapat para ahli tersebut yang tercantum pada kitab karangannya masing-masing. Imam Ibn Abi Hatim al-Razi, beliau menjelaskan pendapatnya dalam kitabnya al- Jarh wa al-Ta’dil. Kemudian Ibn Shalah dalam Ulum al-Hadis dan al-Nawawi dalam al-Taqrib-nya. Mereka semua membagi tingkatan jarh wa ta’dil atas empat bagian.3 Menurut al-Hafidh ad-Dzahaby dan al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan.4 Kedua ulama tersebut menjelaskan pendapatnya dalam karangannya masing-masing. Al-Dzahaby dalam Mizan al-‘Itidal dan al-‘Iraqy dalam al-Fiyahnya.
         Imam Ibn Hajar al-Asqalani, dalam Taqrib al-Tahdzib membagi martabat jarh dan ta’dil atas dua belas martabat. Namun, apabila diperinci martabat itu masing-masing akan menjadi enam martabat yaitu enam martabat untuk jarh dan enam martabat untuk ta’dil. Imam al-Suyuthi mengikuti pendapat Ibn Hajar dengan sedikit penambahan di samping beliau lebih jelas dalam merincinya. Banyak ulama hadis yang mengikuti jejak al-Razi dalam mengklasifikasi al-Jarh wa al-Ta’dil ini. Diantaranya adalah Ibnu ash-Shalah dan al-Nawawi. Mereka mengikutinya tanpa menyalahinya sedikit pun.[5]

         Para ulama telah memberi peringatan lafaz-lafaz al-jarh tidak ditukar mengikut istilah-istilah moden sesuai dengan perubahan masa. Ini akan memberikan impak yang negatif terutama sekali ia mungkin memberi maksud yang bertentangan dengan pengertian lafaz hadith yang sebenar. Oleh itu, pengkaji berpendapat bahawa dalam menyatakan mafhum hadith hendaklah mengikut kepada syarat-syarat di bawah iaitu:
 a. Mengetahui asas bahasa Arab serta bahasa yang hendak diterjemahkan atau dinyatakan mafhum hadith beserta istilah-istilah yang berkaitan dengannya.
b..Mempunyai pengetahuan asas mengenai ilmu Mustalah al-Hadith serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadith.
c.Mengetahui asas-asas ilmu syariat Islam.
d.Berhati-hati dalam menyatakan mafhum hadith dan berusaha mengelakkan dari kesilapan apabila menyebutkan mafhum hadith.
e. Memahami isi kandungan hadith melalui penterjemahan secara literal lafaz hadith sebelum dinyatakan mafhum hadith.
e. Menyatakan sumber rujukan hadith berkenaan.
        Namun begitu, pengkaji lebih cenderung kepada menterjemahkan lafaz-lafaz hadith berpandukan syarat-syarat yang telah dibentangkan di atas berbanding menyatakan mafhum hadith. Hal ini kerana, dimensi kefahaman manusia adalah berbeza terutama sekali yang melibatkan penggunaan istilah-istilah yang berlainan bahasa. Oleh yang demikian, ia akan membuka ruang kepada berlakunya kesilapan, salah faham dan seumpamanya kepada penyampai hadith mahupun penerima hadith. Justeru, bagi mengelakkan keadaan ini berlaku, kaedah menterjemahkan hadith adalah kaedah yang terbaik di samping ia menjaga kualiti hadith berkenaan dalam menjadikan hadith itu bersifat relevan kepada semua bangsa dan bahasa di dunia ini. Namun, hal ini tidak menafikan penyampaian hadith melalui kaedah mafhum dengan syarat individu yang menyatakan mafhum hadith itu benar-benar berkelayakan dalam menyatakan mafhumnya sejajar dengan makna sebenar hadith.[6]

      Dengan demikian, al-jarh merupakan langkah atau metode untuk mengetahui sebuah hadis memiliki al-syahid dan al-mutabi’ atau tidak, di mana keduanya berfungsi sebagai penguat sanad, sebab al-syahid adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih, sedangkan al-mutabi’ adalah hadis yang diriwayatkan dua orang setelah sahabat atau lebih, meskipun pada level sahabat hanya satu orang saja.Sedangkan skema sanad dibutuhkan untuk lebih mempermudah mengetahui sebuah hadis, apakah terdapat al-syahid dan al-mutabi’ atau tidak. Di samping itu, skema sanad juga mencantumkan tabaqat/tingkatan para perawi hadis dan tingkatan penilaian ulama kritikus hadis kepada setiap perawi. Dari bagan di atas jelas bahwa hadis yang mengandung matan yang sama terdapat pada riwayat Abu Ya’la dan al-Baihaqi. Sementara riwayat al-Baihaqi dari Ibn ‘Abbas berbicara tentang apa yang dilakukan Nabi pada saat al-Hasan lahir dengan menyebutkan azan dan iqamah, akan tetapi terjadi penambahan riwayat pada al- Baihaqi karena riwayat Abu Daud, al-Turmuzi dan Ahmad ibn Hambal tidak menyebutkan azan dan iqamah.
         Sedangkan riwayat al- Tabrani menceritakan tentang peristiwa ummu al-Fadl pada saat anaknya lahir. Dengan demikian, hadis tersebut satu sama lain tidak dapat menjadi al-syahid dan al-mutabi’ karena berbeda tanawwu’, kecuali hadis yang terdapat dalam Sunan Abi Daud, Sunan al-Turmuzi dan Musnad Ahmad dengan riwayat al-Baihaqi dari Ibn ‘Abbas. ketiga riwayat tersebut dapat menjadi syahid pada riwayat al-Baihaqi karena peristiwanya sama.[7]

      perbahasan ilmu ini dapat melahirkan semangat yang memberi tumpuan kepada pemikiran dan persoalan yang menjadi perbincangan semasa. Tujuannya adalah untuk mencari penyelesaian atau pencerahan Islam berdasarkan nas-nas hadith sebagai sumber terpenting yang kedua selepas al-Qur’an. Ketiga, tidak harus membincangkan disiplin ilmu ini di luar kotak limitasinya. Isu-isu yang tidak boleh dikaitkan dengan hadith-hadith secara lansung atau tidak lansung tidak termasuk dalam perbincangan hadith al-jarh. Hadith-hadith disusun mengikut topik utama yang dinamakan kitab, sebelum dipecah-pecahkan kepada sub-topik yang dinamakan bab. Jawami‘ menghimpunkan semua jenis hadith dalam semua topik utama agama. Manakala musannafat mengandungi Hadith Marfu‘, Hadith Mawquf dan Hadith Maqtu‘ biasanya memberi tumpuan kepada tajuk-tajuk Fiqh Islami. Muwatta’at pula menjadi nama pilihan sebahagian ulama hadith dalam menulis musannafat.
         Hal ini berbeza dengan peringkat kedua pembukuan hadith iaitu masanid yang menyusun hadith mengikut nama sahabat yang meriwayatkannya. Namun generasi ketiga pembukuan hadith iaitu peringkat sihah dan sunan memilih semula penyusunan hadith secara al-mawdu‘iy kerana beranggapan ia adalah lebih membantu dan memudahkan proses pencarian hadith. Kajian hadith menggunakan kaedah al-mawdu‘iy mempunyai beberapa langkah yang mesti diikuti. Perbincangan tentang langkah-langkah ini terbahagi kepada dua bahagian. Pertama, langkah-langkah umum; dan kedua, langkah-langkah khusus.[8]

         Berdasarkan pengertian al-jarh hadis di atas dapat diketahui bahwa al-jarh hadis tidak mengkaji hadis yang jelas kesahihan dan kecacatannya atau ketajrîhan dan keta’dîlannya sehingga menjadikannya berbeda dengan jenis-jenis hadis tersebut. Karenanya, menurut Hammâd Abd al-Rahîm, objek kajian ilmu al-jarh adalah hadis tsiqah. Dan bertujuan untuk mengungkapkan kesalahan dan serta keraguan yang tersembunyi dari perawi yang tsiqah. Berdasarkan pengertian al-jarh hadis di atas dapat diketahui bahwa al-jarh hadis tidak mengkaji hadis yang jelas kesahihan dan kecacatannya atau ketajrîhan dan keta’dîlannya sehingga menjadikannya berbeda dengan jenis-jenis hadis tersebut. Karenanya, menurut Hammâd Abd al-Rahîm, objek kajian ilmu al-jarh adalah hadis tsiqah. Dan bertujuan untuk mengungkapkan kesalahan dan serta keraguan yang tersembunyi dari perawi yang tsiqah.
            Pada ciri kategori hadis pertama dinyatakan bahwa hadis tersebut sesungguhnya munqathi namun oleh perawi diwashalkan. Sedang pada point kedua, hadis yang semestinya mauqûf kemudian dimarfûkan oleh perawi dan ketiga adalah bercampurnya hadis dengan hadis yang lain dan terakhir terjadi kesalahan dalam penyebutan nama perawi yang memiliki kualitas berbeda. Menurut Syuhudi Ismail, dua bentuk al-jarh yang disebutkan pertama berupa sanad hadis terputus sedang dua bentuk al-jarh yang disebutkan terakhir berupa periwayat tidak dhâbith, sedikitnya tidak tâmm al-dhâbth. Hadis munqathi , mauqûf dan memasukkan hadis pada hadis lainnya merupakan bagian dari kajian dan pembagian hadis dhaif. Atau bercampur- nya hadis dengan hadis yang lain, dalam pembagian hadis dhaif dikenal dengan hadis mudrât  Lantas apa yang membedakan antara hadis mu’allal dengan hadis dhaif Ulama menyatakan bahwa sebab-sebab tersembunyi yang terdapat dalam hadis dan tidak mudah diketahui oleh mereka yang ahli dalam ilmu hadis yang membedakan antara hadis mu’allal dan jenis hadis dhaif lainnya. Apabila hadis dhaif kemunqathiannya dapat diketahui dengan mudah sedang pada hadis mu’allal sangat sulit untuk diketahui. Sehingga sebagian memandang bahwa hadis dhaif jenis ini hanya dapat diketahui melalui hafalan yang kuat.[9]

        Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulūmul Hadîts, karena masing-masing membicara- kan tentang Hadîts dan perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabung- kan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama al-jarh, sebagai- mana halnya sebelum disatukan. Jadi peng- gunaan lafaz jama al-jarh, setelah keadaannya menjadi satu, adalah mengan- dung makna mufrad atau tunggal, yaitu al-jarh, karena telah terjadi peru- bahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama –beberapa ilmu yang terpisah- menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mush- thalah Hadîts. Para ulama yang menggunakan nama al-jarh, diataranya adalah Imam al-Hakim al-Naisaburi (405 H/1014 M), Ibnu al-Shalah (643 H/1246 M), dan ulama kontemporer seperti Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Thawani (1394 H/1974 M) dan Subhi al-Shalih.
            Pada mulanya, Ilmu jarh memang merupakan beberapa ilmu yang masing- masing berdiri sendiri, yang berbicara ten- tang Hadîts Nabi SAW. dan para perawinya, seperti Ilmu Hadîts al-Shahih, Ilmu al- Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain- lain. Penulisan Ilmu-Ilmu jarh secara parsial dilakukan, khususnya oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibnu Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh al- Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Kuna, Muslim (261 H/875 M) menulis kitab al-Asma’ wa al- Kuna, Kitab al-Thabaqat dan kitab al-‘Ilal dan lain-lain.[10]

DAFTAR PUSTAKA
Dil, Al-jarh W A Al-ta, ‘Al-Jarh Wa Al-Ta’dil’, JURNAL AL-QALAM, X.52 (1995), 25–26
Gaffar, Abdul, ‘68 | Azan Terhadap Anak Yang Dilahirkan’, Jurnal TAHDIS, 8.1 (2017), 74–7
darina yusry, Jurnal Hikmah, 14.1 (2017), 44–46
Imron, Ali, ‘Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta ’ Dil’, Jurnal Studi Islam, 2.2 (2017), 290–91
Irsyad, Ahmad, and Al Faruq, ‘Metode Jarh } Wa Al-Ta ’ Di > l Kelompok Mutashaddid Dan Mutasa > Hil ( Telaah Pemikiran Yah } Ya > Ibn Ma ‘ i > n Dan Al-Turmudhi > Perspektif Sosiologi Pengetahuan )’, Jurnal Diya Al-Afkar, 6.1 (2018), 189–90
Journal, Malaysian, Social Sciences, and Rasulullah Saw, ‘Pengaplikasian Ka Pengenalan’, Journal of Social Sciences and Humanities, 1.2 (2016), 136–37
Siregar, Khairil Ikhsan, and Universitas Negeri Jakarta, ‘Telaah Hadis Nabi Sebagai Pendidik (Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa Al- Ta‘Dil )’, Jurnal Studi Al-Qur’an, 10.1 (2014), 63–64
Ushuluddin, Ilmu, ‘Menguji Kompleksitas’, Jurnal Ilmu Ushuluddin, 11.2 (2012), 205–7
Zain, Mina Mudrikah, ‘وأ لدع هنأب هيلع مكلحاو يوارلا ةيك زت وه هسكا طباض’, Jurnal Ilmu Hadis 2, 1.8 (2017), 16–17
Zolkapli, Mohd Ikhwan, Mohamad Rizal, Kolej Universiti, Islam Sultan, and Azlan Shah, ‘Metodologi Penulisan Teks Hadith’, Jurnal Perspektif, 1.9 (1985), 6–7





[1] Ali Imron, ‘Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta ’ Dil’, Jurnal Studi Islam, Vol,2.No.2 (2017), hlm.290–291.
[2] Al-jarh W A Al-ta Dil, ‘Al-Jarh Wa Al-Ta’dil’, JURNAL AL-QALAM,Vol, X.No.52 (1995),hlm. 25–26.
[3] Ahmad Irsyad and Al Faruq, ‘Metode Jarh Wa Al-Ta ’ Di Kelompok Mutashaddid, Jurnal Diya Al-Afkar,Vol, 6.No.1 (2018),hlm. 189–190.
[4] Khairil Ikhsan Siregar and Universitas Negeri Jakarta, ‘Telaah Hadis Nabi Sebagai Pendidik (Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa Al- Ta‘Dil )’, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol,10.No.1 (2014), hlm.63–64.
[5] Mina Mudrikah Zain, ‘وأ لدع هنأب هيلع مكلحاو يوارلا ةيك زت وه هسكا طباض’, Jurnal Ilmu Hadis 2, Vol.1.No.8 (2017), hlm.16–17.
[6] Mohd Ikhwan Zolkapli and others, ‘Metodologi Penulisan Teks Hadith’, Jurnal Perspektif,Vol.1.No.9 (1985),hlm. 6–7.
[7] Abdul Gaffar, ‘68 | Azan Terhadap Anak Yang Dilahirkan’, Jurnal TAHDIS,Vol. 8.No.1 (2017),hlm, 74–75.      
[8] Malaysian Journal, Social Sciences, and Rasulullah Saw, ‘Pengaplikasian Ka Pengenalan’, Journal of Social Sciences and Humanities, Vol,1.No,2 (2016), hlm.136–137.
[9] Ilmu Ushuluddin, ‘Menguji Kompleksitas’, Jurnal Ilmu Ushuluddin,Vol, 11.No,2 (2012), hlm.205–207.
[10] dairina yusry, Jurnal Hikmah, Vol.14.No,1 (2017), hlm.44–46.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGERTIAN HADIS, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR