ILMU AL-JARH WA TA'DIL
A.PENDAHULUAN
Kedudukan hadis sebagai sumber ajaran
islam setelah al-qur’an tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama.berhujjah
dengan hadis shahih jelas tidak diperdebatkan lagi,maka demekianlah yang
semestinya.namun bagaimana menentukan keshahihan suatu hadis merupakan kajian
yang tidak sederhana.suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara
masa kehidupa rasulullah saw.dengan masa penulisan dan pembukuan suatu
hadis.untuk meneliti suatu keshahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan
dua cabang ilmu yakni ilmu hadis riwayat yang objek kajiannya ialah bagaimana
cara menerima,menyampaikan,kepada orang lain dan memindahkan atau mendewankan
dalam suatu ilmu hadis.
Dalam menyampaikan dan mendewankan
suatu hadis dinukilkan dan ditulkan apa adanya baik mengenai matan atau
sanadnya.ilmu ini tidak membicarakan hal ihwal sifat perawi yang berkenaan
dengan ‘adil,dhabith atau fasiq yang dapat berpengaruh terhadap shahih tidaknya
suatu hadis.perihalnya perawi merupakan obyek kajian ilmu hadis di royah.karena
kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan keshahihan suatu hadis ,maka
ilmu hadis diroyah membahas secara khusus keadaan perawi.jalan untuk mengetahui
keadaan perawimitu adalah melalui ilmu “al-jarh wa al-ta’dil.
B.Pengertian al-jarh
Muhammad ‘Ajjal al-Khathib, seorang tokoh
hadis kontemporer, dalam bukunya yang cukup terkenal, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu
wa Mushthalahuhu, membagi Ilmu Rijalul Hadits menjadi dua bagian besar, Ilmu
Tarikh al-Ruwah2 dan Ilmu Jarh wa Ta’dil. Jika Ilmu Tarikh al-Ruwah adalah ilmu
yang mempelajari seluk beluk kehidupan perawi hadits, meliputi misalnya
kelahiran perawi, wafatnya, guru-gurunya, murid-muridnya, tempat tinggalnya,
perlawatannya dalam rangka studi hadits, kapan ia memasuki suatu negeri, dan
lain sebagainya. Sedangkan Ilmu Jarh wa Ta’dil, dapat dijelaskan sebagai
berikut. Dari
segi bahasa, jarh terambil dari kata dasar ja-ra-ha, artinya melukai. Sedang
menurut pengertian ahli hadits, jarh artinya mencela atau mengkritik perawi
hadits dengan ungkapan-ungkapan yang menghilangkan keadilan ataupun
kedhabitannya. Sebaliknya, ta’dil menurut para ulama hadits adalah memuji
perawi (tazkiyah al- rawi) dan menetapkannya sebagai seorang yang adil dan
dhabit. Kedua
ilmu ini (Ilmu Tarikh al-Ruwah dan ilmu al-Jarh wa al- Ta’dil) memang memiliki
obyek material kajian yang sama, namun obyek formalnya berbeda. Obyek material
keduanya adalah orang-orang yang dulu terlibat dalam periwayatan hadis pada
abad ke-1 hingga abad ke-4 Hijriyah, jadi mereka sudah wafat ratusan tahun yang
lalu. Namun obyek fomal keduanya berbeda.
Jika Ilmu Tarikh al-Ruwah mengupas
seluk-beluk sejarah hidup perawi secara global, mulai dari tahun lahir, orang
tua, riwayat belajar, kapan wafat, dll., maka Ilmu Jarh wa Ta’dil mengupas
seluk- beluk Sejarah hidup perawi secara spesifik, yakni bagaimana kualitas
intelektual maupun kualitas moral perawi (dhabit atau tidak, jujur atau tidak),
tsiqqah atau tidak). Singkatnya, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang
membicarakan kebaikan maupun keburukan orang-orang yang namanya tercantum dalam
sanad sebuah hadis.[1]
Dalam melaknkan jarh dan ta'dil
aka.n teruugkap aib atau kepribadian perawi. Oleh karena itu dipermasala? hkan
apakah ha! ini tidak sejalan de? ngan maksud firman Allah yang termaktub dalam
surat Al-Hujarat ayat I 0, dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran
hadits Nabi yang menyatakan.
Menanggapi
pennasalahan di atas Ajaj al-Khathib justru berpandangan sebaliknya clan
mengatakan bahwa kaidah-kaidah Syari'ah yang umum telah menunjukkan kewajiban
melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ihwal para parawi akan nampak
jalan yang lurus untuk memelihara al-sunnah (al-hadits). Firman Allah
dalam surat al-Hujurat ayat 6:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani seperti yang
dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqi (1%8: 124) bahwa sebab-sebab yang menjadikan
aibnya seorang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar di sekitar lima
macam saja yakni bid'ah, mukhalafah, ghalath, jahalah al -ha, da'wa
al-inqitha".Yang di maksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam
meriwayatkan. Jahalat al hal ialal1 tidak dikenal identitasnya, mak1,ud perawi
yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima. Sedangkan
da 'wa al? inqitha' ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda'wa
perawi meutadliskan atau mengirsalkan suatu hadits. [2]
Salah satu ideologi yang diterapkan
oleh pemerintah Abbasiyyah pada saat itu adalah paham Alquran adalah makhluk
Allah. Ini merupakan langkah awal al-Ma‘mun guna menerapkan paham mu’tazilah
lebih jauh. Puncaknya, pada bulan rabi’u al-awwal – kira-kira empat bulan
sebelum meninggal – al-Ma‘mun menulis surat untuk Gubernur Irak, Ishaq ibn Ibrahim,
agar menguji setiap qadi dan saksi tentang doktrin khalq al-qur‘an. Jika ada
qadi atau saksi yang tidak mengakui kemakhlukan Alquran, maka ia telah dianggap
musyrik dan halal darahnya.
Selain
itu, al-Ma‘mun juga memerintahkan Ishaq ibn Abi Dawd untuk memanggil muhaddiin
yang menetap di Baghdad dan sekitarnya agar menghadap khalifah. Bagi
tokoh-tokoh hadith, proses mihnah akan dilakukan sendiri oleh al-Ma’mun.
Muhaddisin yang dipanggil pada saat itu adalah Muhammad ibn Sa’d, Abu Muslim,
Yahya ibn Ma‘in, Zahir ibn Harbin, Isma‘i ibn Dawd, Isma‘i ibn Abi Mas’ud, dan
Ahmad ibn Ibrahim al-Dawraqi. Alasan pemanggilan tersebut adalah karena tokoh
fiqh dan hadis pada saat itu sangat berpengaruh di masyarakat. Sehingga,
pengakuannya akan semakin menguatkan
posisi ideologi mu’tazilah di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, Yahya ibn Main juga
terpengaruh oleh perkembangan hadis pada saat itu, khususnya ilmu jarhwa
al-ta’dil. Selain itu, pada abad kedua dan ketiga hijriyah, perkembangan hadis
mengalami masalah yang cukup hebat, yakni merebaknya hadis-hadis palsu.
Penyebaran hadis-hadis palsu itu disebebkan oleh beberapa faktor, di antaranya
kepentingan politik, orang-orang zindiq (Atheis), dan banyaknya tukang-tukang
dongeng.[3]
Di dalam penelitian berikutnya, mencari
data-data yang vailed dari kitab-kitab rijal al-hadis, khususnya kepada
kitab-kitab al-jarh wa al-ta’dil. Yang mana buku-buku tersebut adalah standar
yang diakui umat Islam sebagai referensi dalam penelitian sejarah para
periwayat hadis Nabi SAW. baik otobigrafinya, seperti nama, pengembaraan
keilmuan, pembelajaran, domisili, tahun wafatnya dan komentar para ulama
kritikus hadis kepada setiap periwayat hadis. Penelitian secara mendalam
tentang sanad hadis Nabi sebagai guru, Nabi menggunakan metode dalam usaha
mentransfer ilmu telah dilakukan. Adapun hasil temuan data-data dari sanad
kedua hadis tersebut menjadi lampiran akan menjadi bahan analisis tetang
penentuan kualifikasi kedua hadis yang diteliti. Kalau data-data dari ilmu al-jarh
wa al-ta’di-lnya ditemukan dari komentar ulama kritikus hadis tetang
sifat-sifat yang melekat pada setiap periwayat hadis ini menunjukkan kepada
krediblitas periwayat yang baik dari tinggkat pertama, kedua, ketiga dan
keempat, seperti: 1) Mu’awiyah bin Shaleh berkata yang diambil dari pendapat
Yahya bin Mu’in diterang bahwa Zuhair bin Harb adalah periwayat hadis yang
tsiqah (orang yang dapat dipercaya).
Dari hasil temuan tentang data-data
dari kitab al-jarh wa al-ta’dil untuk hadis tetang Nabi SAW. sebagai guru
terdiri enam periwayat hadis. Imam Muslim meriwayatkan hadis ini sendiri tidak
ada riwayat yang sama dengan redaksi hadis yang sama dari imam hadis yang lain.
Atinya hadis ini dalam tingkatan periwayat teakhir hanya diriwayatkan oleh imam
Muslim. Walaupun di dalam simbol ucapa kata-kata yang disampaikan oleh imam
muslim dengan pakai istilah haddtsanaa menunjukkan arti kami atau banyak.
Namunteman-temannya seperguruan tidak meneruskan meriwatkan hadis ini kepada
imam hadis yang lain, seperti imam al-Bukhariy dan lain-lain. [4]
Sebelum
mengetahui maratib ta’dil, akan dibahas sekilas pengertian dari ta’dil.
Sebagaimana diketahui bahwa pengertian ta’dil menurut bahasa artinya
meluruskan, membetulkan, membersihkan. Sedangkan ta’dil menurut ilmu hadis
adalah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi,
apakah semua itu benar ada pada diri si rawi atau tidak. Para ahli
berbeda pendapat dalam menentukan martabat ta’dil. Berikut ini akan dikemukakan
tiga pendapat para ahli tersebut yang tercantum pada kitab karangannya
masing-masing. Imam Ibn Abi Hatim al-Razi, beliau menjelaskan pendapatnya dalam
kitabnya al- Jarh wa al-Ta’dil. Kemudian Ibn Shalah dalam Ulum al-Hadis dan
al-Nawawi dalam al-Taqrib-nya. Mereka semua membagi tingkatan jarh wa ta’dil
atas empat bagian.3 Menurut al-Hafidh ad-Dzahaby dan al-‘Iraqy menjadi 5
tingkatan.4 Kedua ulama tersebut menjelaskan pendapatnya dalam karangannya
masing-masing. Al-Dzahaby dalam Mizan al-‘Itidal dan al-‘Iraqy dalam
al-Fiyahnya.
Imam Ibn Hajar al-Asqalani, dalam
Taqrib al-Tahdzib membagi martabat jarh dan ta’dil atas dua belas martabat.
Namun, apabila diperinci martabat itu masing-masing akan menjadi enam martabat
yaitu enam martabat untuk jarh dan enam martabat untuk ta’dil. Imam al-Suyuthi
mengikuti pendapat Ibn Hajar dengan sedikit penambahan di samping beliau lebih
jelas dalam merincinya.
Banyak
ulama hadis yang mengikuti jejak al-Razi dalam mengklasifikasi al-Jarh wa
al-Ta’dil ini. Diantaranya adalah Ibnu ash-Shalah dan al-Nawawi. Mereka
mengikutinya tanpa menyalahinya sedikit pun.[5]
Para ulama telah memberi peringatan
lafaz-lafaz al-jarh tidak ditukar mengikut istilah-istilah moden sesuai dengan
perubahan masa. Ini akan memberikan impak yang negatif terutama sekali ia
mungkin memberi maksud yang bertentangan dengan pengertian lafaz hadith yang
sebenar. Oleh itu, pengkaji berpendapat bahawa dalam menyatakan mafhum hadith
hendaklah mengikut kepada syarat-syarat di bawah iaitu:
a. Mengetahui asas bahasa Arab serta bahasa
yang hendak diterjemahkan atau dinyatakan mafhum hadith beserta istilah-istilah
yang berkaitan dengannya.
b..Mempunyai
pengetahuan asas mengenai ilmu Mustalah al-Hadith serta ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan hadith.
c.Mengetahui
asas-asas ilmu syariat Islam.
d.Berhati-hati
dalam menyatakan mafhum hadith dan berusaha mengelakkan dari kesilapan apabila
menyebutkan mafhum hadith.
e.
Memahami isi kandungan hadith melalui penterjemahan secara literal lafaz hadith
sebelum dinyatakan mafhum hadith.
e.
Menyatakan sumber rujukan hadith berkenaan.
Namun begitu, pengkaji lebih cenderung
kepada menterjemahkan lafaz-lafaz hadith berpandukan syarat-syarat yang telah
dibentangkan di atas berbanding menyatakan mafhum hadith. Hal ini kerana,
dimensi kefahaman manusia adalah berbeza terutama sekali yang melibatkan
penggunaan istilah-istilah yang berlainan bahasa. Oleh yang demikian, ia akan
membuka ruang kepada berlakunya kesilapan, salah faham dan seumpamanya kepada
penyampai hadith mahupun penerima hadith. Justeru, bagi mengelakkan keadaan ini
berlaku, kaedah menterjemahkan hadith adalah kaedah yang terbaik di samping ia
menjaga kualiti hadith berkenaan dalam menjadikan hadith itu bersifat relevan
kepada semua bangsa dan bahasa di dunia ini. Namun, hal ini tidak menafikan
penyampaian hadith melalui kaedah mafhum dengan syarat individu yang menyatakan
mafhum hadith itu benar-benar berkelayakan dalam menyatakan mafhumnya sejajar
dengan makna sebenar hadith.[6]
Dengan demikian,
al-jarh merupakan langkah atau metode untuk mengetahui sebuah hadis memiliki
al-syahid dan al-mutabi’ atau tidak, di mana keduanya berfungsi sebagai penguat
sanad, sebab al-syahid adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat
atau lebih, sedangkan al-mutabi’ adalah hadis yang diriwayatkan dua orang
setelah sahabat atau lebih, meskipun pada level sahabat hanya satu orang
saja.Sedangkan skema sanad dibutuhkan untuk lebih mempermudah mengetahui sebuah
hadis, apakah terdapat al-syahid dan al-mutabi’ atau tidak. Di samping itu,
skema sanad juga mencantumkan tabaqat/tingkatan para perawi hadis dan tingkatan
penilaian ulama kritikus hadis kepada setiap perawi. Dari bagan di
atas jelas bahwa hadis yang mengandung matan yang sama terdapat pada riwayat
Abu Ya’la dan al-Baihaqi. Sementara riwayat al-Baihaqi dari Ibn ‘Abbas
berbicara tentang apa yang dilakukan Nabi pada saat al-Hasan lahir dengan
menyebutkan azan dan iqamah, akan tetapi terjadi penambahan riwayat pada al-
Baihaqi karena riwayat Abu Daud, al-Turmuzi dan Ahmad ibn Hambal tidak
menyebutkan azan dan iqamah.
Sedangkan riwayat al- Tabrani
menceritakan tentang peristiwa ummu al-Fadl pada saat anaknya lahir. Dengan
demikian, hadis tersebut satu sama lain tidak dapat menjadi al-syahid dan
al-mutabi’ karena berbeda tanawwu’, kecuali hadis yang terdapat dalam Sunan Abi
Daud, Sunan al-Turmuzi dan Musnad Ahmad dengan riwayat al-Baihaqi dari Ibn
‘Abbas. ketiga riwayat tersebut dapat menjadi syahid pada riwayat al-Baihaqi
karena peristiwanya sama.[7]
perbahasan ilmu ini
dapat melahirkan semangat yang memberi tumpuan kepada pemikiran dan persoalan
yang menjadi perbincangan semasa. Tujuannya adalah untuk mencari penyelesaian
atau pencerahan Islam berdasarkan nas-nas hadith sebagai sumber terpenting yang
kedua selepas al-Qur’an. Ketiga, tidak harus membincangkan disiplin ilmu ini di
luar kotak limitasinya. Isu-isu yang tidak boleh dikaitkan dengan hadith-hadith
secara lansung atau tidak lansung tidak termasuk dalam perbincangan hadith
al-jarh. Hadith-hadith
disusun mengikut topik utama yang dinamakan kitab, sebelum dipecah-pecahkan
kepada sub-topik yang dinamakan bab. Jawami‘ menghimpunkan semua jenis hadith
dalam semua topik utama agama. Manakala musannafat mengandungi Hadith Marfu‘,
Hadith Mawquf dan Hadith Maqtu‘ biasanya memberi tumpuan kepada tajuk-tajuk
Fiqh Islami. Muwatta’at pula menjadi nama pilihan sebahagian ulama hadith dalam
menulis musannafat.
Hal ini berbeza dengan peringkat kedua
pembukuan hadith iaitu masanid yang menyusun hadith mengikut nama sahabat yang
meriwayatkannya. Namun generasi ketiga pembukuan hadith iaitu peringkat sihah
dan sunan memilih semula penyusunan hadith secara al-mawdu‘iy kerana
beranggapan ia adalah lebih membantu dan memudahkan proses pencarian hadith. Kajian hadith
menggunakan kaedah al-mawdu‘iy mempunyai beberapa langkah yang mesti diikuti.
Perbincangan tentang langkah-langkah ini terbahagi kepada dua bahagian.
Pertama, langkah-langkah umum; dan kedua, langkah-langkah khusus.[8]
Berdasarkan pengertian al-jarh hadis di atas
dapat diketahui bahwa al-jarh hadis tidak mengkaji hadis yang jelas kesahihan
dan kecacatannya atau ketajrîhan dan keta’dîlannya sehingga menjadikannya
berbeda dengan jenis-jenis hadis tersebut. Karenanya, menurut Hammâd Abd al-Rahîm,
objek kajian ilmu al-jarh adalah hadis tsiqah. Dan bertujuan untuk
mengungkapkan kesalahan dan serta keraguan yang tersembunyi dari perawi yang
tsiqah. Berdasarkan
pengertian al-jarh hadis di atas dapat diketahui bahwa al-jarh hadis tidak
mengkaji hadis yang jelas kesahihan dan kecacatannya atau ketajrîhan dan
keta’dîlannya sehingga menjadikannya berbeda dengan jenis-jenis hadis tersebut.
Karenanya, menurut Hammâd Abd al-Rahîm, objek kajian ilmu al-jarh adalah hadis
tsiqah. Dan bertujuan untuk mengungkapkan kesalahan dan serta keraguan yang
tersembunyi dari perawi yang tsiqah.
Pada ciri kategori hadis pertama
dinyatakan bahwa hadis tersebut sesungguhnya munqathi namun oleh perawi
diwashalkan. Sedang pada point kedua, hadis yang semestinya mauqûf kemudian
dimarfûkan oleh perawi dan ketiga adalah bercampurnya hadis dengan hadis yang
lain dan terakhir terjadi kesalahan dalam penyebutan nama perawi yang memiliki
kualitas berbeda. Menurut Syuhudi Ismail, dua bentuk al-jarh yang disebutkan
pertama berupa sanad hadis terputus sedang dua bentuk al-jarh yang disebutkan
terakhir berupa periwayat tidak dhâbith, sedikitnya tidak tâmm al-dhâbth. Hadis munqathi
, mauqûf dan memasukkan hadis pada hadis lainnya merupakan bagian dari kajian
dan pembagian hadis dhaif. Atau bercampur- nya hadis dengan hadis yang lain,
dalam pembagian hadis dhaif dikenal dengan hadis mudrât Lantas apa yang membedakan antara hadis
mu’allal dengan hadis dhaif Ulama menyatakan bahwa sebab-sebab tersembunyi yang
terdapat dalam hadis dan tidak mudah diketahui oleh mereka yang ahli dalam ilmu
hadis yang membedakan antara hadis mu’allal dan jenis hadis dhaif lainnya.
Apabila hadis dhaif kemunqathiannya dapat diketahui dengan mudah sedang pada
hadis mu’allal sangat sulit untuk diketahui. Sehingga sebagian memandang bahwa
hadis dhaif jenis ini hanya dapat diketahui melalui hafalan yang kuat.[9]
Ilmu-ilmu
yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulūmul Hadîts,
karena masing-masing membicara- kan tentang Hadîts dan perawinya. Akan tetapi,
pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan
dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabung- kan dan menjadi satu
kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama al-jarh, sebagai- mana halnya sebelum
disatukan. Jadi peng- gunaan lafaz jama al-jarh, setelah keadaannya menjadi
satu, adalah mengan- dung makna mufrad atau tunggal, yaitu al-jarh, karena
telah terjadi peru- bahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama
–beberapa ilmu yang terpisah- menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus,
yang nama lainnya adalah Mush- thalah Hadîts. Para ulama yang menggunakan nama
al-jarh, diataranya adalah Imam al-Hakim al-Naisaburi (405 H/1014 M), Ibnu
al-Shalah (643 H/1246 M), dan ulama kontemporer seperti Zhafar Ahmad ibn Lathif
al-Utsmani al-Thawani (1394 H/1974 M) dan Subhi al-Shalih.
Pada mulanya, Ilmu jarh memang
merupakan beberapa ilmu yang masing- masing berdiri sendiri, yang berbicara
ten- tang Hadîts Nabi SAW. dan para perawinya, seperti Ilmu Hadîts al-Shahih,
Ilmu al- Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain- lain. Penulisan Ilmu-Ilmu
jarh secara parsial dilakukan, khususnya oleh para ulama abad ke-3 H.
Umpamanya, Yahya ibnu Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh al- Rijal, Muhammad
ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Kuna, Muslim (261 H/875 M)
menulis kitab al-Asma’ wa al- Kuna, Kitab al-Thabaqat dan kitab al-‘Ilal dan
lain-lain.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Dil, Al-jarh W A Al-ta, ‘Al-Jarh Wa
Al-Ta’dil’, JURNAL AL-QALAM, X.52 (1995), 25–26
Gaffar, Abdul, ‘68 |
Azan Terhadap Anak Yang Dilahirkan’, Jurnal TAHDIS, 8.1 (2017), 74–7
darina yusry, Jurnal
Hikmah, 14.1 (2017), 44–46
Imron, Ali,
‘Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta ’ Dil’, Jurnal Studi Islam, 2.2 (2017),
290–91
Irsyad, Ahmad, and Al
Faruq, ‘Metode Jarh } Wa Al-Ta ’ Di > l Kelompok Mutashaddid Dan Mutasa >
Hil ( Telaah Pemikiran Yah } Ya > Ibn Ma ‘ i > n Dan Al-Turmudhi >
Perspektif Sosiologi Pengetahuan )’, Jurnal Diya Al-Afkar, 6.1 (2018),
189–90
Journal, Malaysian,
Social Sciences, and Rasulullah Saw, ‘Pengaplikasian Ka Pengenalan’, Journal
of Social Sciences and Humanities, 1.2 (2016), 136–37
Siregar, Khairil
Ikhsan, and Universitas Negeri Jakarta, ‘Telaah Hadis Nabi Sebagai Pendidik
(Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa Al- Ta‘Dil )’, Jurnal Studi Al-Qur’an, 10.1
(2014), 63–64
Ushuluddin, Ilmu,
‘Menguji Kompleksitas’, Jurnal Ilmu Ushuluddin, 11.2 (2012), 205–7
Zain, Mina Mudrikah, ‘وأ لدع هنأب هيلع مكلحاو يوارلا ةيك زت وه هسكا طباض’,
Jurnal Ilmu Hadis 2, 1.8 (2017), 16–17
Zolkapli, Mohd Ikhwan,
Mohamad Rizal, Kolej Universiti, Islam Sultan, and Azlan Shah, ‘Metodologi
Penulisan Teks Hadith’, Jurnal Perspektif, 1.9 (1985), 6–7
[1]
Ali Imron, ‘Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta ’ Dil’, Jurnal Studi Islam, Vol,2.No.2 (2017), hlm.290–291.
[2]
Al-jarh W A Al-ta Dil, ‘Al-Jarh Wa Al-Ta’dil’, JURNAL AL-QALAM,Vol, X.No.52 (1995),hlm. 25–26.
[3]
Ahmad Irsyad and Al Faruq, ‘Metode Jarh Wa Al-Ta ’ Di Kelompok Mutashaddid,
Jurnal Diya Al-Afkar,Vol, 6.No.1
(2018),hlm. 189–190.
[4]
Khairil Ikhsan Siregar and Universitas Negeri Jakarta, ‘Telaah Hadis Nabi
Sebagai Pendidik (Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa Al- Ta‘Dil )’, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol,10.No.1 (2014), hlm.63–64.
[5]
Mina Mudrikah Zain, ‘وأ لدع هنأب هيلع مكلحاو يوارلا
ةيك زت وه هسكا طباض’, Jurnal Ilmu Hadis 2,
Vol.1.No.8 (2017), hlm.16–17.
[6]
Mohd Ikhwan Zolkapli and others, ‘Metodologi Penulisan Teks Hadith’, Jurnal Perspektif,Vol.1.No.9 (1985),hlm.
6–7.
[7]
Abdul Gaffar, ‘68 | Azan Terhadap Anak Yang Dilahirkan’, Jurnal TAHDIS,Vol. 8.No.1 (2017),hlm,
74–75.
[8]
Malaysian Journal, Social Sciences, and Rasulullah Saw, ‘Pengaplikasian Ka
Pengenalan’, Journal of Social Sciences
and Humanities, Vol,1.No,2 (2016), hlm.136–137.
[9]
Ilmu Ushuluddin, ‘Menguji Kompleksitas’, Jurnal Ilmu Ushuluddin,Vol, 11.No,2 (2012), hlm.205–207.
[10]
dairina yusry, Jurnal Hikmah, Vol.14.No,1
(2017), hlm.44–46.
Komentar
Posting Komentar