SEJARAH
HADIS PRA-KODIFIKASI : SEJARAH HADIS PADA PRIODE NABI MUHAMMAD SAW, SAHABAT,
DAN TABI’IN
A.PENDAHULUAN
Hadis
merupakan sumber otoritas penting bagi umat islam. Sebab dari hadislah ajaran
al-qur’an dapat diketahui dengan benar. Terutama yang berkaitan tentang
ayat-ayat yang bersifat global yang perlu penjelasan dan perician lebih
mendetail. Mustahil dapat mengamalkan ajaran agama dengan menegasikan keberadaan hadis sebagai salah satu sumber
rujukan. Sehingga kebutuhan mengkaji hadis
untuk mendapatkan pemahaman yang holistic yang tidak bisa di tawar lagi.
Sebaga sumber tasyri’ maka hadis wajib
diikuti. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-hasr (59):71. “Apa yang diberikan rasul kepadamu maka
terimalah dia, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah”.
Sebagai
pijakan kedua setelah al-qur’an, hadis tentunya menjadi spirit dan ruh yang
selalu mengajarkan kedamaian dan kemaslahatan. Menciptakan peradaban dan budaya
madani yang berasaskan nilai-nilai kemanusiaan. Proses kodifikasi hadis berbeda
dengan proses kodifikasi al-qur’an . Kodifikasi hadis yang sebagian besarnya sangat bergantung pada
kekuatan daya hafalan para sahabat dan memarginalkan peran budaya tulis
–menulis untuk segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi SAW, melalui ucapan, tindakan pernyataan, maupun sifatnya. Nah
disini penulis akan memaparkan penjelasan tentang Sejarah hadis pra-kodifikasi
: sejarah hadis pada masa Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in.
B.SEJARAH
HADIS PRA-KODIFIKASI PADA PRIODE NABI MUHAMMAD SAW
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “pertumbuhan yaitu timbul, kemudian bertambah
besar atau sempurna. Sementara yang dimaksud dengan perkembangan yang berasal
dari kata kembang, berarti mekar, terbuka, atau membentang, sehingga dengan demikian,
perkemnangan dimaksudkan sebagai bertambah dengan sempurna dan meluas. Perkembangan
hadis yang dimaksud di sini adalah seperti yang dikemukakan oleh Endang Sutari,
yaitu: “masa atau periode-periode yang
dilalui oleh hadis semenjak dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan dan pengamalan umat dari generasi ke generasi”.
Mempelajari sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hadis baik dari aspek periwayatan maupun
pen-dewanan-nya sangat dipentingkan, karena dengannya dapat diketahui proses
dan transformasi berkaitan dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat, dan
taqrīr dari Nabi saw.
Yang
dimaksud dengan periodisasi sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis menurut
M. Syuhudi Ismail adalah “fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam
sejarah pembinaan dan perkembangan hadis, sejak zaman Rasulullah saw. masih
hidup sampai terwujudnya kitab-kitab hadis yang dapat disaksikan dewasa ini”.4
Berbeda dengan al-Qur’an yang untuk mewujudkan muṣḥaf-nya
hanya membutuhkan sekitar 15 tahun saja, maka untuk hadis, dibutuhkan waktu
paling tidak sekitar tiga abad lamanya untuk mewujudkan kitab himpunan hadis,5
sebagaimana dapat disaksikan saat ini.
Kelahiran
hadis yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah dilahirkan atau disabdakannya
hadis itu oleh Rasulullah saw. sejak awal masa kenabian, masa sahabat, hingga
pada penghujung abad pertama Hijriah. Uraian mengenai masa kelahiran hadis
sebagaimana dimaksud terkait langsung dengan pribadi Nabi saw. sebagai sumber
hadis., dimana beliau telah membina umatnya selama + 23 tahun,11 dan masa
tersebut 11 merupakan kurun waktu turun (nuzūl) nya wahyu,12 dan berbarengan
dengan itu keluar (wurūd) pula hadis.
Dengan posisi Nabi saw. yang bertugas menyampaikan
risalah islamiyyah kepada umat manusia, kataatan dan kepatuhan para sahabat
semakin bertambah kuat, sebab mereka sadar bahwa mengikuti Rasul dan Sunnah-nya
adalah suatu keharusan sebagai bahagian tak terpisahkan dari kepatuhan kepada
Allah swt. Dalam rangka penyampaian risalah, Rasulullah menanamkan kepada para sahabatnya
akan pentingnya ilmu dan menuntut ilmu sekaligus menyampaikannya kepada orang
lain yang tidak hadir dalam mengikuti setiap perjalanan atau majelis Nabi saw.,
karena halangan atau kesibukan tertentu, sebagaimana dapat dilihat dalam permintaannya
yang mengatakan:
Artinya: “Hendaklah
yang hadir menyampaikan (apa yang
didengarnya) kepada orang yang tidak hadir (gāib), karena betapa banyak orang
yang disampaikan (kepadanya sesuatu) lebih mengerti atau paham dari pada yang
mendengarnya (langsung)”.
Antusiasme dan kesungguhan para
sahabat dalam menerima segala yang diajarkan Nabi saw., baik berupa wahyu al-Qur’an
maupun hadis Nabi sendiri, menjadikan mereka benar-benar terbentuk sebagai
pribadi muslim yang berkualitas, dan dengan pemahanan yang baik terhadap ajaran
Islam yang mereka terima. [1]
Golongan
ini berkembang di hijaz. Dalam menetapkan hukum, madzhab ini pertama-tama sangat terikat kepada
teks-teks al-Qur'an dan Sunah. Bila dalam menetapkan hukum suatu masalah tidak
ditemukan hukumnya dalam nash al-Qur'an dan Sunah, mereka berpaling kepada
praktek dan pendapat para sahabat. Mereka mengunakan ra'yu hanya dalam keadaan
yang sangat terpaksa. Namun dalam hal-hal yang tidak ditemukan nashnya dan
tidak ada pula [2]pendapat
serta praktek sahabat, mereka sepakat untuk menggunakan metode dan proporsi
yang berbeda. Tokoh- tokoh aliran ini yang termashur adalah Sa'id ibn al-
Musaiyyab al-Mahzumy. Ia diikuti oleh al-Zuhry, al-Tsaury, Malik, Syafi'i,
Ahmad ibn Hanbal dan Dawud al-Zhahiry.
Pemaknaan
sunnah sebagai perkataan, perbuatan, dan keputusan Nabi Muhammad sejatinya
adalah pemaknaan sunnah oleh para sarjana ushul fiqh.8 Hal ini mengingat
orientasi bidang kajian mereka adalah kesimpulan hukum Islam. Oleh karena itu
mereka membatasi sumber hukum yang mereka kaji hanya pada tiga hal ini saja.
Berbeda halnya dengan para sarjana hadis, mereka menyatakan bahwa sunnah adalah
segala hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik itu perkataan, perbuatan,
keputusan, sifat perangai, ciri fisik maupun perjalanan hidup.9 Dapat dilihat
bahwa pemaknaan sunnah oleh para sarjana hadis lebih luas jika dibandingkan
pemaknaan para sarjana ushul fiqh. Pemaknaan para sarjana hadis ini memiliki
kesesuaian sekaligus mencakup di dalamnya makna sunnah secara bahasa yaitu
“perjalanan hidup”.
Keberpihakan
tersebut menunjukkan bahwa sunnah Nabi perlu dipahami sebagaimana layaknya
sebuah proses dialogis antara Nabi dengan masyarakat yang dihadapinya. Dasar-dasar
bangunan dakwah yang dibangun oleh Nabi, dengan demikian, merupakan bagian dari
proses dialogis yang memiliki tujuan tunggal meskipun cara-cara yang digunakan
untuk mencapai tujuan itu dilakukan dengan cara yang beragam. Nabi
mempopulerkan Islam tanpa menjadikan Islam sebagai elemen yang divisive dalam
kehidupan masyarakat arab dengan segala kompleksitas nilai dan budaya yang
hidup di dalamnya. Tidak berlebihan, oleh sebab itu, jika dikatakan bahwa
ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an banyak sekali berbicara tentang
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan
secara universal.
Jika
demikian, keseluruhan perjalanan hidup Nabi Muhammad adalah sunnah yang
merupakan landasan hujjah pada seluruh bidang kajian agama Islam. Tidak
terkecuali dalam bidang kajian dakwah, perjalanan hidup Nabi Muhammad adalah
sumber yang lebih kompleks untuk menentukan suatu model dakwah yang ideal.[3]
Pada
masa keNabian yang mengalami perkembangan signifikan- akan dijelaskan lebih
lanjut pada bab-bab berikutnya- setelah lama terlilit dengan kegelapan buta
huruf. Dengan
demikiaan, adanya dugaan ketidakmampuan baca tulis pada bangsa arab sebagai
faktor keterlambatan kodifikasi hadis dapat terbantahkan. Demikian halnya
pendapat Muhammad Musthafa al- Azhami dengan mengatakan bahwa penulis-penulis
pada masa Nabi telah berkembang pesat dimana Alquran dapat dirangkum dengan
sekumpulan naskah-naskah yang ada pada sahabat-sahabat yang menulis wahyu
Alquran. Sebagaimana jamak diketahui bahwa terdapat sekian
riwayat yang kontras antara larangan menulis hadis dan pembolehannya.
problematika larangan dan pembolehan penulisan selain alqur’an pada fase
keNabian menggelitik para pengkaji hadis untuk menyibak misteri di balik teks
tersebut. Abu Said al-Khudri meriwayatkan hadis Nabi”Janganlah kalian tulis apa
yang kalian dengan dariku, selain al-Qur’an.Barangsiapa yang telah menulis
sesuatu yang selain al-Qur’an hendaklah dihapus”.
Terlepas
dari adanya hadis-hadis yang bertentangan dalam masalah penulisan hadis,
ternyata di antara para sahabat terdapat mereka yang memiliki kumpulan-kumpulan
hadis dalam bentuk tertulis secara pribadi, seperti Abdullah bin Amru bin Ash
yang menghimpun hadis dan dinamainya dengan al-Shahifah al-Anshari yang memuat
seribu hadis. Demikian juga dengan Saad ibn Ubadah al-Anshari, Samrah bin
Jundub, Jabir bin Abdullah al-Anshari dan Anas bin Malik.
Maksud
dari kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada periode kodfikasi adalah
kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala negara yaitu pada
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Berangkat dari itu maka bisa disimpulkan
bahwa fokus kajian pada bab ini adalah terkait dengan naskah atau dokumen hadis
Nabi pada masa sebelum kodifikasi resmi. Sebagaima jamak diketahui bahwa
beberapa sahabat telah menuliskan sunnah (hadis) pada masa keNabian.[4]
C.SEJARAH HADIS PADA MASA SAHABAT
Pada
periode sahabat atau periode kedua. Menurut Imam Syuhudi, kreteria seorang
sahabat adalah sebagai berikut:
a. Adanya khabar mutawatir, seperti halnya
para Khulafar ar-Rasyidin.
b.
Adanya khabar masyhur, seperti Dlamah bin Tsa’labah dan Ukasyah bin Nisham.
c.
Diakui sahabat yang terkenal kesahabatannya seperti Hammah ad- Dausi yang
diakui oleh nabi Musa al- Asy’ari.
d.
Adanya keterangan dari tabi’in yang tsiqah.
e.
Pengakuan sendiri dari orang yang adil.
Konteks
ini sangat representative mengingat kualifikasi para sahahabat Nabi sendiri.
Karena pada masa sahabat ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, maka pernyataan hadits belum berkembang.
Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang
menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (al- tasabbut wa al-iqlal min
al-riwayah).
Dalam
hal tradisi periwayatan, para sahabat masih bisa secara langsung berdialog
kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga bila terjadi kesalahan penukilan, kekeliruan
pengucapan atau kekurangpahaman terhadap makna teks hadits, maka dapat dirujuk
kepada Nabi Muhammad SAW.
Pada masa periode ini, dalam meriwayatkan
suatu hadis, biasanya meriwayatkanya melalui majlis al-ilm, dan terkadang Nabi
Muhammad SAW dalam banyak hal juga meriwayatkan hadis melalui para sahabat
tertentu yang kemudian para sahabat tersebut menyampaikanya kepada orang lain,
serta melalui penyampaian pidato/ceramah dalam forum terbuka, seperti ketika
fathul Makkah dan haji wada’. Selain itu juga, dalam penjelasan sebuah hadis,
Nabi SAW juga melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya,
seperti yang berkaitan dengan praktik ibadah dan Muamalah. [5]
Masa
periode ketiga, masa ini merupakan masa setelah Nabi wafat, pada masa ini para
sahabat tidak lagi dapat mendengar sabda Nabi Muhammad SAW, serta menyaksikan
perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang pada dasarnya bermuatan ajaran
ilahi, sehingga informasi hadits hanya bisa diketahui melalui informasi
sahabat. Atas hal tersebut, parasahabat pada masa ini mulai sadar untuk
mengembangkan periwayatan hadis, bahkan para sahabat rela mengorbankan jiwa dan
raganya untuk menegakan agama dan menyebarluaskan Islam.
Periode
ke empat yakni pada masa Khulafaur Rasyidin, dimana para sahabat masih fokus
pada penyebaran al-Quran atau disebut dengan al-tatsabut wa al-iqlal min
riwayah. Pada masa ini hadist masih terbatas, tetapi meskipun begitu para
sahabat tetap memperketat dalam penerimaan hadist, karena pada dasarnya para
sahabat sangat berhati-hati agar tidak terjadi kekeliruan periwayatan hadist
dengan al-Quran.[6]
Semangat
penulisan hadis yang pada awalnya dilakukan orang-perorang mulai masa sahabat
hingga tabiin kemudian menarik perhatian salah seorang khalifah Umayyah untuk
melakukan penyelamatan hadis secara nasional dan dilakukan serentak. Hal ini
pula yang kemudian membuat kami tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
sejarah sosial terbentuknya gagasan mengenai pengumpulan hadis secara resmi
yang dilakukan pada masa khalifah Umayyah ini. LatarLatar belakang historis
mengenai hadis, yakni bagaimana umat Islam pada waktu itu memperlakukannya, dan
latar kehidupan Umar bin Abdul Aziz yang sangat berbeda dengan khalifah-khalifah
Umayyah lainnya membuat kami tertarik untuk menelaahnya melalui analisis
sosiologi pengetahuan.2 Sosiologi pengetahuan mencoba untuk menganalisis dan
menghubungkan berbagai ide dengan realitas masyarakat serta menelaah setting
historis tempat ide-ide tersebut diproduksi dan diterima. Sehingga dengan
demikian kami akan mengkaji pertama-tama hadis sebagai salah satu sumber
pengetahuan Islam, kemudian Umar bin Abdul Aziz, sebagai pencetus kodifikasi
hadis, dengan mengkaji berbagai ide-ide dan sejumlah faktor sosial yang
membentuk dan mendorong dia melakukan kodifikasi hadis.
Hadis
merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Pada masa Rasulullah,
hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum banyak ditulis, bahkan di
awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena khawatir bercampur dengan
al-Qur’an. Para sahabat merupakanpenyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara
mereka yang mendengar berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar
bin Khattab secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw.
Namun banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada
larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum banyak,
dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih belum melek
tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka.
Pada
masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis,
terutama pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum
mendapatkannya secara langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat
minim sekali, dan hanya terbatas pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus
yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat
yang lain yang menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan
Islam yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan
meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah serta
penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan
kehidupan manusia.
Bahkan
setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan, kebutuhan akan hadis
semakin meningkat. Para sahabat semakin berhati- hati dalam menerima hadis
karena telah muncul benih-benih hadis palsu pada masa Ali bin Abi Thalib dan
semakin kuat ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan.3 Misalnya hadis “Ali
sebaik-baik manusia, barang siapa meragukannya maka dia kafir.” Hadis digunakan
oleh kelompok pembela Ali (Syi’ah). Kemudian salah satu contoh lai adalah
“Sosok yang berkarakter jujur ada tiga: aku, Jibril, dan Muawiyyah” yang
digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru setelah khalifah Ali, yakni
dinasti Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya. Kaum Rafidhah Syi’ah yang
merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang banyak memalsukan
hadits.
Al-Kholili
dalam kitab Irsyad mengatakan bahwa kaum Rafidhi talah memalsukan lebih dari
13.000 hadis yang isinya sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan
kecaman terhadap dua Khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab.[7]
Pada
masa nabi masih hidup hadis sebagai teks telah dicatat oleh beberapa sahabat,
namun masih dalam hitungan kecil. Catatan hadis tersebut hanya bersifat “untuk
membantu penyebaran lisan”. Oleh karena itu maka hadis disinyalir belum ada
pada masa nabi masih hidup, dan yang ada hanya berupa sunnah, yaitu berupa
tradisi atau amal yang datang dari nabi, kemudian dihidupkan dalam
amalan-amalan sahabat dan masyarakat muslim tanpa berbetuk redaksi atau teks
yang tertulis. Setelah nabi wafat, sunnah lalu berlanjut menjadi “tradisi” yang
dipertahankan dalam kehidupan sahabat serta tabi’in. Saat persebaran wilayah
Islam semakin luas, perpecahan kelompok juga semakin banyak terjadi, maka
sunnah kemudian diformulasikan ke dalam bentuk teks untuk menjadi pengikat
pengetahuan sunnah. Hal ini harus dilakukan sebab tradisi oral atau amalan
dianggap tidak kuat lagi untuk menjaga eksistensi dan otoritas “nabi” secara
baik. Pergeseran masyarakat dari tradisi oral menjadi masyarakat “tekstual”
tersebut yang semkain menegaskan pergeseran istilah sunnah menjadi hadis. Oleh
karena begitu banyak kendala dalam proses koodifikasi hadis, maka tidak mungkin
hadis dianggap mampu marangkum Sunnah secara keseluruhan. Padahal dari sunnah
kita ingin kehidupan “nabi” secara keseluruhan. Imam Malik datag memberi
tawaran untuk kembali melihat sunnah yang sesungguhnya pada masa awal (untuk
kebutuhan rujukan hukum), yaitu dengan satu-satunya jalan, dengan dengan
melihat tradisi Madinah.[8]
segala
perkataan atau aqwal Nabi, yang tidak ada relevansinya dengan hukum atau tidak
mengandung misi kerasulannya, seperti tentang cara berpakaian, berbicara,
tidur, makan, minum, atau segala yang menyangkut hal ihwal Nabi, tidak termasuk
hadis. Baik menurut difinisi ulama’ hadis maupun ulama’ usul, kedua pengertian
yang diajukannya, memberikan difinisi yang terbatas pada sesuatu yang
disandarkan kepada Rasul tanpa menyinggung perilaku dan ucapan sahabat atau
tabi’in. Dengan kata lain, definisi di atas adalah dalam rumusan yang terbatas
atau sempit.
Diantara
para ulama’ hadis, ada yang mendifinisikan hadis secara longgar. Menurut mereka
hadis mempunyai pengertian lebih luas, yang tidak hanya terbatas pada sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi semata (hadis marfu’), melainkan juga segala yang
disandarkan kepada sahabat, (hadis mauquf), dan tabi’in (hadis maqtu’). Hal
ini, seperti dikatakan al-Tirmisi. Hadis dalam pengertian yang luas seperti di
atas, menurut al-Tirmisi merupakan sinonim dari kata al- Khabar. Selain istilah
hadis, terdapat istilah sunnah, khabar, dan athar. Terhadap ketiga istilah
tersebut, ada yang sependapat ada juga yang berbeda. [9]
D.SEJARAH HADIS PADA PRIODE TABI’IN
Pada
periode keempat, yakni hadis pada masa Intisyar riwayah il al-amshar
(penyampaian hadis ke berbagai wilayah) semakin banyak sahabat kecil dan tabiin
yang menjadi pengajar agama Islam dan penyambung lidah Rasulullah, sehingga
para pencari hadis dan cerita-cerita yang berkait dengan Rasulullah dicari dan
dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya baru sebatas dilakukan oleh para
individu, dan belum ada kordinasi dengan pihak para khalifah Umayyah. Di sisi
lain, masa-masa ini sebenarnya merupakan masa-masa rawan hadis palsu, karena
khawarij, Syi’ah senantiasa merongrong kekuasaan bani Umayyah, sedangkan
kelompok bani Umayyah juga membutuhkan legitimasi untuk kekuasaannya agar
diakui sehingga hadis palsu di sini tidak terelakkan. Dalam bahasa lain, pada
dasarnya hadis palsu dipengaruhi oleh situasi politik kekuasaan yang berlangsung
pada itu.
Sebelum
menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz sempat menempati posisi strategis.
Diantaranya pada tahun 706 M ketika berumur 25 tahun dia diangkat sebagai
gubernur Medinah setelah ayah mertuanya meninggal. Dia menjadi gubernur Medinah
sekitar 7 tahun. Penampilannya sebagai gubernur berbeda dari gubernur lainnya
karena ia sangat adil dalam memerintah. Di Medinah, dia membentuk satu ‘dewan
penasihat’ yang beranggotakan para ulama yang berpengaruh di kota itu. Dalam
dewan itu, ia bersama ulama mendiskusikan berbagai masalah penting yang
berkaitan dengan agama, urusan rakyat dan pemerintahan. Melalui dewan itu, ia
berusaha mempersatukan pandangan antara umara (pemerintah) dan ulama dalam
menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi rakyat dan pemerintah. Kemudian
datang pengawal khalifah di depan beliau dengan membawa tombak, lalu beliau
mengatakan, ‘Menjauhlah kalian dariku, siapa aku ... aku hanyalah salah satu di
antara kaum muslimin.’ Lalu beliau berjalan dan manusia mengikutinya hingga
mereka sampai ke masjid, lalu beliau naik mimbar dan manusia berkumpul kemudian
beliau mengatakan, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diuji dengan
perkara ini (kepemimpinan), tiadanya kesepakatan dariku sebelumnya, tidak pula
ada permohonan atau musyawarah dari kaum muslimin, maka dengan ini aku umumkan
bahwa aku telah melepas kewajiban kalian untuk berbai’at kepadaku. Maka silakan
kalian memilih orang yang pantas menjadi pemimpin kalian. Maka
semua manusia bersuara dengan satu suara seraya mengatakan, ‘Sungguh kami telah
memilih engkau wahai Amirul Mukminin, dan kami telah ridho denganmu, maka
jalankan amanah ini semoga Allah memberkahimu.’ Maka tatkala semua suara telah
mereda dan semua manusia telah ridho dengan kepemimpinan beliau lalu beliau
memujiAllah, menyanjung-Nya, dan bershalawat kepada Nabi Saw, lalu dia
mengatakan, ‘Sesungguhnya aku berwasiat agar kalian senantiasa bertakwa kepada
Allah karena takwa kepada-Nya akan menjaga diri dari segala sesuatu, beramallah
untuk akhirat kalian, karena barang siapa yang beramal untuk akhiratnya maka
Allah akan mencukupkan urusan dunianya .... Wahai sekalian manusia, kepada
(pemimpin) yang taat kepada Allah maka kalian wajib menaatinya dan kepada (pemimpin)
yang bermaksiat kepada-Nya maka kalian wajib tidak menaatinya, maka taatilah
aku selama aku menaati Allah dan bila aku bermaksiat kepada-Nya maka janganlah
kalian menaatiku.
Kecintaan Umar Bin Abdul Aziz
Kepada Hadis
Setelah
Nabi wafat, berita-berita tentang penilaian, pendapat dan praktiknya tentu saja
memainkan peran yang penting dalam pembuatan keputusan dalam komunitas muslim
awal, setidaknya di wilayah-wilayah di mana Nabi pernah mengekspresikan
pandangan-pandangan yang diketahui secara umum. Selama masa kehidupan Nabi,
sebagian pengikutnya meminta pendapatnya tentang berbagai macam masalah sebagai
bentuk kepatuhan terhadap perintah Al-Quran, ‘Wahai orang-orang beriman …
patuhilah rasul (Muhammad)’, dan ‘Kalian mempunyai contoh yang baik dalam diri
Rasulullah’. Setelah wafatnya, bisa dipahami jika para Sahabat berkeinginan
untuk menyampaikan informasi-informasi tersebut kepada umat Islam yang baru
meluas menjadi komunitas muslim. Namun tidak semua sahabat nabi setuju dengan
penulisan hadis ini, sebutlah Abu bakar dan Umar bin Khattab yang cenderung
sangat membatasi penulisan hadis karena kuatir bercampur dengan al-Qur’an. HalHal
ini bisa dimaklumi karena pada dasarnya mereka hidup di zaman yang masih sangat
dekat dengan nabi dan masih belum terlalu membutuhkan penulisan hadis. Kendati
demikian ada beberapa sahabat yang memiliki shahifah dan menulis hadis
rasulullah, dan dalam berbagai literatur, tulisan pada masa sahabat dan masa
tabiin senior ini kemudian menjadi salah satu rujukan paling utama Namun ketika
Islam semakin meluas dan pada babakan berikutnya mulai banyak pemalsuan hadis,
maka penulisan hadis mulai dibutuhkan.
Pada
masa tabiin, kebutuhan akan hadis semakin nyata seiring dengan
semakin banyak sahabat Rasulullah yang wafat. Umar bin Abdul Aziz meriwayatkan
hadis dari beberapa sahabat dan
tabiin.
Misalnya, ayahnya sendiri, Anas bin Malik, Ibnu Umar, Ibnu Ja’far, Said bin
Musayyib, Ibnu Farizh, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman,22 Ibnu Abi
Salamah, Ibnu Salam, dan Saib bin Uhkt Namr, salah seorang sahabat yang diusap
kepalanya dan melaksanakan haji wada’ bersama Rasulullah.23 Dalam hemat kami,
pembentukan rasa cinta dan keinginan untuk mengkodifikasi hadis pada masa Umar
II menjadi khalifah telah terbentuk ketika dia berada di Medinah, baik ketika
belajar maupun ketika menjadi gubernur Medinah. Latar belakang kehidupan Umar
II di Medinah kemudian inilah yang menurut kami membuat dirinya
menginstruksikan pengumpulan hadis di masa kekhalifahannya. Sedangkan
murid-muridnya antara lain, Ibrahim bin Abi Ublah Syamr bin Yaqzan bin Umar bin
Abdullah, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Ishaq bin Rusyd, Ismail bin
Abu Hakim, Ayyub bin Abu Tamimah Kaisan, Ja’far bin Barqan, Hamid bin Abu
Hamid, Daud bin Abi Hindun, Yahya bin Atiq, Sahm bin Yazid, dan lain-lain.
Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah pada tahun 99 H,
Umar memerintahkan para ulama hadis untuk mencari hadis nabi. Umar II sangat
waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya
semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila
tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para
perawinya, mungkin hadis- hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para
penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis
Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin
Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Medinah, Abu Bakar bin Muhammad bin
Amr bin Hazm agar membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para
penghafal. Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang
berbunyi:
Artinya:
“Umar bin Abdul Aziz menulis kepada Abu
Bakr bin Hazm: Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu
tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan
jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan
diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat
mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”[10]
Pandangan
Abu Hanifah dalam membagi sebuah hadis diselaraskan dengan pemikiran para imam
yang lain, dimana beliau meletakkan Hadis Mutawatir sebagai bentuk tertinggi
yang diyakini kebenarannya secara mutlak tanpa sikap suspektif dalam melihat
validitas hadis tersebut. Hal ini tentu dipengaruhi oleh jumlah kuantitas
(al-kammu) perawi yang banyak serta serta ke-’adalah- annya, disertai dengan
tempat kejadian turunnya (makanu al-wurud) hadis yang pasti. Dari sini al-
Sarakhsy mengatakan dalam Ushul-nya bahwa sesuatu yang telah ditetapkan dengan
mutawatir akan menghsilkan ilmu yang pasti (al-’ilmu al-dharury) sebagaimana
seseorang melihat kejadian secara langsung (al-mu’ayanah). Jadi jelas bahwa Abu
Hanifah dan pengikutnya melihat bahwa hadis mutawatir menghasilkan informasi
yang tidak diragukan lagi. Disisi lain terdapat persepsi yang berbeda tentang
Mutawatir menurut Abu Hanifah, dimana Dhafar Ahmad al-Utsmany mengatakan bahwa
Mutawatir tersebut tidak mutlak dibatasi dengan jumlah kuantitas yang banyak,
akan tetapi sebuah hadis akan mencapai derajat Mutawatir apabila hadis tersebut
telah disepakati dan diterima secara aklamatif oleh seluruh umat tentang
keabsahannyaSedangkan hadis yang belum mencapai derajat Mutawatir, bagi Abu Hanifah
terbagi
menjadi
dua; al-Masyhur al-Mustafidl dan al-Ahad, dimana keduanya telah terperinci,
hasil dari tinjauan al-istifadlah dan al-syahrah periwayatan oleh Ulama ataupun
Perawi. Bagi beliau, Hadis Masyhur adalah sebuah hadis yang tidak memenuhi syarat
tawatur di tingkat sahabat (thabaqatu al- shahabah) yang mana awalnya muncul
sebagai hadis ahad tetapi pada periode berikutnya berkembang, sehingga mencapai
pada sebuah posisi dimana akal dan adat tidak memungkinkan bagi para perawi
untuk bersepakat dalam kebohongan, karena diriwayatkan oleh perawi yang
tsiqoh.8
Dari
sini al-Jashshash9 salah seorang pengikut madzhab Hanafi mengkategorikan
masyhur sebagai Hadis Mutawatir, tetapi hukuman yang diberikan bagi yang
menentang hadis tersebut tidak seperti Hadis Mutawatir yang harus dikafirkan,
tetapi hanya tergolong sebagai orang sesat. Sebagai contoh untuk Hadis Masyhur
adalah hadis mashu al-khuffain dan juga hadis tentang hukuman pezina yang sudah
beristri (al-zani al-muhshan).[11]
Dari
tulisan ini dapat disimpulkan beberapa hal, pertama, Dari sejarah hadis pada masa Nabi SAW,
kemudian pada masa para sahabat, dan pada masa tabi’in. Disini di jelaskan
tentang Umar bin Abdul Aziz bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah sosok manusia yang
lahir dari rahim zamannya, yakni zaman Dinasti Umayyah yang dipenuhi oleh
keserbamewahan, banyak hadis palsu yang dibuat untuk memperkuat golongan atau
kelompok tertentu. Namun miliu Madinah banyak berpengaruh pada khalifah yang
satu ini sehingga ketika kembali ke Damaskus ia memerintahkan agar hadis-hadis
Rasulullah ditulis dan dikumpulkan. Kedua, proses kodifikasi hadis yang
dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz tidak berangkat dari ruang hampa. Proses
eksternalisasinya dimulai semenjak hidup di lingkungan istana Umayyah yang
serba mewah lalu ia menghirup suasana segar Madinah dengan belajar dan berguru
pada tokoh-tokoh hadis dan fiqih terkemuka lalu ia diangkat menjadi Gubernur
Madinah hingga akhirnya ia menjadi khalifah. Kemudian proses objektivikasi
terjadi ketika ia menjadi khalifah dan memerintahkan secara resmi agar hadis
dibukukan setelah sebelumnya hadis berada di tangan-tangan individu para ahli
hadisSehingga ketika terkumpul, maka kumpulan hadis tersebut mengalami proses
internalisasi yang menumbuhkan minat para pencari hadis semakin bergairah dalam
menulis dan mengumpulkannya dalam berbagai bentuk yang lain yang berbeda dengan
yang sebelumnya. Proses ini kemudian mengalami kemajuan pesatnya ketika muncul
kutubut sittah yang menjadi rujukan umat Islam hingga saat ini. Wallahu a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Dosen Ilmu, Hadis
Fakultas, and Ushuluddin Filsafat. “Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra
Kodifikasi Muhammad Abduh | 63.” Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra
Kodifikas 6, no. 1 (2015): 65,67,69,71.
Ilmu, Prodi, Tafsir Fakultas, Ushuluddin
Filsafat, Politik Uin, Alauddin Makassar, Fenomena Nikah, Machica Mukhtar,
Iqbal Ramadan, and Hadis Nabi. “KODIFIKASI HADIS SEJAK MASA AWAL ISLAM HINGGA
TERBITNYA KITAB AL- MUWATTHA ’ Yusran Abstrak I . Pendahuluan . Dalam Diskursus
Pengetahuan Islam , Al-Quran Dan Hadis Merupakan Sumber Tekstual Yang Paling
Utama . 1 Pada Mulanya Kedua Sumber Ajaran Tersebut.” TAHDIS 8, no. 2
(2017): 106.
Imam, Al, and Muhammad Abu. “JURNAL
SAINTIFIKA ISLAMICA Volume 2 No. 2 Periode Juli – Desember 2015 ISSN 2407-
053X.” JURNAL SAINTIFIKA ISLAMICA 2, no. 2 (2015): 15–24.
Jafar, Wahyu Abdul. “Ijtihad Dalam Bentang
Sejarah Prakodifikasi Ushul Fiqh” 4, no. 01 (n.d.): 44–62.
Qudsy, Saifuddin Zuhri. “Umar Bin Abdul
Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis.” ESENSIA XIV, no. 2 (2013):
268,269,270.
Rahman, Haidir. “Haidir Rahman Dakwah Pra-
Kenabian….” Haidir Rahman Dakwah Pra-Kenabian… 11, no. 2 (n.d.): 163–83.
Rosyid, Asyhad Abdillah, and M Ag. “PERIODESASI
PERKEMBANGAN STUDI HADITS (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga Berbasis Digital)
Asyhad Abdillah Rosyid, M.Ag.,” n.d.
Studi Kitab Hadis, 2013.
Windows, Microsoft, Microsoft Corporation,
Kazunari Hori, and Akihiro Sakajiri. “SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
HADIS.” HADING 02, no. 1 (2004): 5,7,8.
Zamzami, Mohammad Subhan. “Ideologi Dan
Politik Dalam Proses Awal Kodifikasi Hadis” 3, no. 1 (2013).
[1]
Microsoft Windows et al., “SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS,” HADING 02, no. 1 (2004): 5,7,8.
[2]
Wahyu Abdul Jafar, “Ijtihad Dalam Bentang Sejarah Prakodifikasi Ushul
Fiqh” 4, no. 01 (n.d.): 44–62.
[3]
Haidir Rahman, “Haidir Rahman Dakwah Pra- Kenabian…,” Haidir Rahman Dakwah Pra-Kenabian… 11, no. 2 (n.d.): 163–83.
[4]
Muhammad Abduh et al., “Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikasi
Muhammad Abduh | 63,” Melacak Akar
Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikas 6, no. 1 (2015): 65,67,69,71.
[5]
Asyhad Abdillah Rosyid and M Ag, “PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS
(Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga Berbasis Digital) Asyhad Abdillah Rosyid,
M.Ag.,” n.d.
[7]
Saifuddin Zuhri Qudsy, “Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis,”
ESENSIA XIV, no. 2 (2013):
268,269,270.
[8]
Prodi Ilmu et al., “KODIFIKASI HADIS SEJAK MASA AWAL ISLAM HINGGA
TERBITNYA KITAB AL- MUWATTHA ’ Yusran Abstrak I . Pendahuluan . Dalam Diskursus
Pengetahuan Islam , Al-Quran Dan Hadis Merupakan Sumber Tekstual Yang Paling
Utama . 1 Pada Mulanya Kedua Sumber Ajaran Tersebut,” TAHDIS 8, no. 2 (2017): 106.
[10]
Mohammad Subhan Zamzami, “Ideologi Dan Politik Dalam Proses Awal
Kodifikasi Hadis” 3, no. 1 (2013).
[11]
Al Imam and Muhammad Abu, “JURNAL SAINTIFIKA ISLAMICA Volume 2 No. 2
Periode Juli – Desember 2015 ISSN 2407- 053X,” JURNAL SAINTIFIKA ISLAMICA 2, no. 2 (2015): 15–24.
Komentar
Posting Komentar