Hadis
Sebagai Sumber Ajaran Agama, Dalil-Dalil
Kehujjahan Hadis Dan Fungsi Hadis
Terhadap Al-qur’an
A. Pendahuluan
Al-qur’an
dan Hadis merupakan pedoman bagi seluruh ummat islam di dunia yang mengatur
kehidupan mereka. “Aku tinggalkan dua
warisan , selama kedua-duanya kamu pegang teguah maka kamu tidak akan sesat
selama-lamanya, yaitu Al-qur’an dan Sunnah Rasulnya (Hadis)”. Dalam makalah ini
penulis akan membahas tentang hadis sebagai sumber ajaran agama, dalil-dalil
kehujjahan hadis dan fungsi hadis terhadap alqur’an. Karena hadis merupakan
sumber pokok ajaran kedua dari ajaran islam, maka hadis-hadis yang akan
dijadikan dasar bukanlah hadis yang lemah apalagi yang palsu melainkan hadis
yang shohih yang akan di jadikan sebagai dasar pokoknya. Untuk mengetahui
tingkat validitas hadis di perlukan
suatu penelitian yang cermat,terutama meriwayatkannya. Memahami al-qur’an dan
hadis dan juga bentuk-bentuknya merupakan suatu
ilmu yang penting di pelajari setiap muslim. Oleh karena itu penulis
akan menjabarkan hadis sebagai sumber
ajaran agama, dalil-dalil kehujjaha hadis dan fungsi hadis terhadap al-qur’an.
B.Hadis Sebagai Sumber Ajaran Agama
1. Pengertian
Sunnah/Hadits Menurut bahasa, hadits mempunyai beberapa arti, antara lain:
jadid, Jawan qadim (baru); qarib (dekat); dan khabar (warta). Hadits dalam arti
khabar ini sering dijadikan acuan dalam
penyebutan hadits secara bahasa. AIJah SWT berfirman: "Maka hendaklah
mereka mendatangkan suatu khabar yang seperhnyajika mereka orang yang
benar" (QS 52:34). Dari ayat di atas, tampaklah bahwa AIJah pun
memakai kata hadits dengan arti khabar.
Demikian juga RasuJullah pemah memakai kata hadits dengan arti khabar yang
datang dari beliau.
Menurut istilah ahh hadits, Hadits
ialah: "Segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala keadaan
beliau". Selanjutnya, hadits menurut ahli ushul ialah: "Selanjutnya,
segala perbuatan dan segala taqrir Nabi, yang bersangkut paut dengan
hukum" (Hasbi Ash? Shiddieqy, 1980:23 ). Sedangkan Sunnah menurut Hasbi
Ash Shiddieqy, secara bahasa berarti jalan yang dilalui, baik jalan itu terpuji
atau tidak. Sunnah juga bisa berarti suatu tradisi yang berjalan terns menerus
(1980:24), sebagaimana sabda Nabi Saw yang artinya: "Sungguh kamu akan
mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan perjalanan) sebelum kamu, sejengkal demi
sejengkal, sehasta? demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarangdlab
(biawak), sungguh kamu memasukinya juga." (H.R. Muslim).[1]
2. Pembagian Sunnah Sunnah itu terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Sunnah qauliyah (perkataan ),
contohnya: Segala amalan itu mengikuti niat (orang yang meniatkan) (H.R.
Bukhari-Muslim).
b. Sunnah fl 'liyah, contohnya:
cara-cara mendirikan Shalat, cara? cara mengerjakan amalah haji, adab berpuasa,
dan memutuskan perkara berdasarkan saksi dan memutuskan perkara berdasarkan
saksi dan berdasarkan sumpah. Nabi bersabda: "Ambillah dariku cara-cara
mengerjakan haji" (HR. Muslim dari Jabir).
c
. Sunnah taqririyah. Membenarkan atau tidak mengingkari sesuatu yang diperkuat
oleh seseorang sahabat, atau diberitakan kepada beliau, lalu tidak menyanggah,
atau tidak menyalahkan serta menunjukkan bahwa beliau meridhainya. Dalam hal
ini contohnya ialah: Nabi membenarkan ijtihad para sahabat mengenai urusan
mereka bersembahyang ashar di Bani Quraidhah, Nabi bersabda: "Jangan
seseorang kamu melakukan shalat, melainkan di Bani Quraidhah."[2]
A. Kedudukan Sunnah dalam Islam
Kedudukan Sunnah dalam anatomi hukum Islam
adalah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Sedangkan dalam tataran
otoritas, sunnah menempati tempat yang sejajar bersama al-Qur’an. Artinya dalil
hukum yang bersumber dari al-Sunnah sejajar derajatnya dengan dalil syari'at
yang bersumber dari al-Qur’an, maka keduanya dapat berfaedah memberikan sebuah
pemahaman dan mewajibkan untuk diamalkan dalam berbagai bentuk hukum
pengamalannya; wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
B.Hadis sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri
Terdapat beberapa hukum dalam al-Qur’an
yang tidak ditemukan sharah (penjelasan)
yang terkait dengan syarat-syarat, rukun-rukun, dan faktor-faktor dari suatu
hukum. Hal itu menyebabkan para sahabat perlu kembali kepada Rasul saw., untuk
mengetahui penjelasan yang diperlukan bagi ayat-ayat yang terkait dengan hukum.
Hal yang sama—juga— terdapat banyak hukum yang tidak ditemukan nas}-nya dalam
al-Qur’an. Dalam hal ini, diperlukan ketetapan Nabi saw. yang telah diakui
sebagai utusan Allah menyampaikan shari’at dan undang-undang kepada umat11.
Ulama’ telah sepakat atas kehujjahan h}adi>th, baik posisi hadi>th
sebagai baya>n terhadap al-Qur’an maupun posisinya sebagai sumber hukum yang
berdiri sendiri. al- Shawka>ny berpendapat, bahwa kehujjahan h}adi>th dan
posisinya sebagai sumber hukum shar’i yang berdiri sendiri merupakan hal yang
fundamental dalam agama. Hal itu tidak ada yang dapat menentang kecuali
seseorang yang tidak memiliki kepedulian terhadap Islam12. Maka dalam
pengambilan suatu hukum, kita harus menengok al-Qur’an terlebih dahulu, baru
selanjutnya melihat hadith sebagaimana hadith Mu’adh bin Jabal ra. dan praktik
para Khulafa’ al-Rasyidin. Namun hal ini hanya dalam hukum-hukum yang jelas
dalalah-nya dalam al-Qur’an. Misalnya: hak waris suami-isteri (Qs.
Al-Nisa’:12),
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,jika mereka tidak mempunyai anak.
jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika
seseorang mati, baik laki- laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutan[3]gnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allahmenetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.
Kata
‘hadits’ disebutkan dalam al Quran sebanyak 28 kali denganrincian 23 kali dalam
bentuk mufrad dan 5 [4]kali
dalam bentuk jama’(Baqi, 1992: 247-248). Kata ‘hadits’ dalam al Quran maupun
kitab-kitab hadits secara literal mempunyai beberapa arti: (a) komunikasi
religius, pesan atau al Quran. Sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Zumar ayat
23. (b).cerita duniawi atau kejadian alam yang wajar, sebagaimana yang
tercantum dalam surat al An’am ayat 68. (c) cerita sejarah, sebagaimana yang
tercantum dalam surat Taha ayat 9. (d) rahasia, percakapan atau cerita yang
masih hangat, sebagaimana yang tercantum dalam surat al Tahrim ayat 3 (Azami,
1977: 1-2). Dari keempat makna yang telah dikemukakan tadi, semuanya terangkum
dalam pengertian cerita dan percakapan. Ignaz Goldziher mengatakan bahwa hadits
secara literal mempunyai makna lebih dari satu, yaitu tale (kisah atau cerita),
communication (berita atau kabar), historical information (informasi sejarah),
baik bersifat sekuler (duniawi) maupun religious (keagamaan), baik berhubungan
dengan peristiwa yang sudah lampau maupun yang baru saja terjadi (Goldziher,
1971)
Sunnah
bisa berarti perilaku (sirah), jalan (thariqah), kebiasaan atau ketentuan.
Sunnah dalam pengertian ini bisa mencakup sunnah yang baik (sunnah hasanah)
maupun sunnah yang buruk (sunnah qabihah).3 Dalam pengertian ini al-Qur’an
menyebutnya dengan Sunnah al-Awwaliin, yakni sunnah yang telah diturunkan oleh
Allah SWT kepada orang-orang terdahulu (Al-Anfal:38). Istilah sunnah juga
terdapat dalam teks hadits, yang mencakup pengertian sunnah yang baik dan
sunnah yang buruk, sebagaimana hadits riwayat Muslim yang mengatakan:
“Barangsiapa di dalam Islam memperkenalkan perilaku atau kebiasaan baik (sunnah
hasanah), ia akan memperoleh pahala atas perilaku tersebut dan pahala
orang-orang yang ikut melakukannya di kemudian hari. Sebaliknya siapa yang
memperkenalkan perilaku.[5]
Pendapat di atas didasarkan, selain
kepada ayat Alquran, terutama pada Hadis- hadis berikut yang artinya:
“Dari 'Aisyah, Nabi SAW bersabda: Perempuan
mana saja yang menikahtanpa izin walinya, maka nikahnya batal. Apabila dia
telah melakukan hubungan seksual, maka dia berhak atas mahar mitsil untuk
menghalalkan kehormatannya. Jika mereka (para wali itu) bertengkar, maka sultan
(hakim atau pemerintah) menjadi wali bagi
perempuan yang tidak ada walinya”. (Riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah).[6]
Setiap Hadis mempunyai dua buah bagian, yakni isnad dan matan.
Setiap Hadis mempunyai dua buah bagian, yakni isnad dan matan.
Isnad
adalah penumpuan kita kepada para parawi untuk ilmu pengetahuan Hadis, matan
adalah ungkapan atau informasi yang dinisbatkan pada Nabi.
Untuk
menetapkan validitas Hadis, epistemologi penelitian bertumpu pada kaidah-kaidah
dan langkah-langkah penelitian Hadis. Kaida-Kaidah Penelilian Menurut Syuhudi
Ismail ada dua macam kesahihan sanad suatu Hadis, yakni kaidah mayor dan kaidah
minor. Kaidah kesahihan sanad adalah segala syarat atau kriteria yang harus
dipenuhi oleh suatu sanad Hadis yang berkualitas sahih.
Segala
syarat atau kriteria yang bersifat umum disebut kaidah mayor
sedang yang bersifat khusus atau rincian-rincian
dari kaedah mayor disebut kaidah minor.17 Untuk meneliti validitas sanad dan
matan. Hadis dapat difahami melalui
pengertian Hadis shahih. Mengulif lbnu Shalah, Syuhudi lsmail mengemukakan
pengertian tersebut.
Adapun Hadis shahih
adalah Hadis yang bersambung sanadnya (sampaikepada Nabi), diriwayatkan oleh
(periwayat) yang adil dan dhabith sampaiakhir sanad, (di dalam Hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (illat). [7]
C.Dalil-Dalil
Kehujjahan Hadis
Sunnah merupakan sumber hukum Islam
(syariat) selain Al-Qur’an yang wajib diikuti dan diamalkan baik dalam bentuk
perintah maupun larangannya. Keotoritasan sunnah ini telah dinyatakan
ketetapannya dalam dalil-dalil naqli@ maupun aqliAbdul Ghani Abdul Khalik dalam
bukunya, Hujjiyat al-Sunnah mendasarkan dalil-dalil tersebut atas tujuh hal,
berikut dasar-dasar otoritatif hadith sebagai sumber ajaran Islam.
1.
Kemaksuman Nabi
Telah disepakati bahwasannya Nabi adalah
seorang yang maksum (terpelihara) dari maksiat
dan dosa. Oleh karena setiap khabar yang bersumber darinya merupakan
penyampaian dari Allah –sesudah adanya penetapan-Nya - dan sesuai dengan apa
yang disisi-Nya. oleh karena itu sunnah merupakan hujjah yang harus dipegang
teguh14. Nabi juga maksum dari setiap kebohongan dalam menyampaikan
risalah-Nya. Seperti yang disampaikan dalam hadith Nabi :
اَمَّنِإ
َو
ِةَّيِّنلاِب
ل
ُ
اَمْعَ
ْْلا
اَمَّنِإ
م
ََّلَسَو
ِهْيَلَع
َُّ㢟ّلل㢟
ىَّل
َص
َِّ㢟ّلل㢟
ُلوُسَر
ل
َ
اَق
ل
َ
اَق
ب
ِ
اَّطَخْلا
ن
ِ
ْب
ر
َ
َمُع
ن
ْ
َع
ث
...ىَوَن
اَم
ٍئِرْم
ِِل
يدحلا
“
Dari Umar bin Khattab dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya”.
2.
Para Sahabat berpegang teguh terhadap
Sunnah pada jaman Nabi
Pada
jaman Nabi, Rasul mengarahkan umatnya untuk berpegang teguh kepadasunnahnya dan
memperingatkan bagi yang menyalahinya. Beliau bersabda :
يِّنِم
َسْيَلَف
يِتَّنُس
ْنَع
َبِغَر
ْنَمَف
“Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku”.
Para sahabat selalu
berpegang teguh kepada sunnah Rasul, menjadikannya hujjah dan tidak memisahkan
antara pemahaman al-Qur’an dari al-Sunnah dalam berijtihad. Para sahabat
mengamalkan dan mengikuti setiap perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi. Maka
oleh karena itu sunnah merupakan hujjah yang mengikat. Banyak kisah di antara
para sahabat yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits/ sunnah
rasul sebagai sumber hukum Islam, antara lain ; Pertama, ketika Abu Bakar
dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata “Saya tidakmeninggalkan sedikitpun
sesuatu yang diamalkan atau dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya
takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”. Kedua, pernah dinyatakan kepada
Abdullah bin Umar tentang ketentuan salat safardalam Al-Qur’an. Ibnu Umar
menjawab “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak
mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana Rasulullah SAW
berbuat”. Ketiga, ketika Mu’adh bin
Jabal diutus ke sebagai wakil di Yaman; dari Mu'adh binJabal. Bahwa Rasulullah
? ketika akan mengutus Mu'adh bin Jabal ke Yaman beliau bersabda:
"Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang
dihadapkan kepadamu?" Mu'adh menjawab, "Saya akan memutuskan
menggunakan Kitab Allah." Beliau bersabda: "Seandainya engkau tidak
mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adh menjawab, "Saya akan kembali
kepada sunnah Rasulullah." Beliau bersabda lagi: "Seandainya engkau
tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah sertadalam Kitab Allah?" Mu'adh
menjawab, "Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak
akan mengurangi." Kemudian Rasulullah menepuk dadanya dan berkata:
"Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan
Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah.[8]
Dari keterangan di
atas, Nampak ada perbedaan di kalangan ulama pengikut Abu Hanifah dalam men-
dudukkan hadis sebagai hujjah. Ada yang menyamakan derajat hadis masyhur dengan
hadis mutawair; dan ada yang berpandangan peringkat hadis masyhur berada di
bawah hadis mutawatir. Ada dualism persepsi, namun pada hakikatnya, keduanya
menyetujui hadis mutawatir sebagai hadis yang dapat dijadikan hujjah dalam
menetap-kan hukum. Abu Hanifah menerima hadisahad dengan menetapkan
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Periwayatnya tidak menyalahi riwa-yatnya
b. Riwayatnya tidak menyangkut soal yang umum
c. Riwayatnya tidak menyalahi qiyas.8 Hadis
ahad didahukukan atas qiyas, jika:
a.
Qiyas yang ‘illat-nya mustanbath dari sesuatu yang zhanni
b. Istinbath zhanni walau dari asal yang
qath’i
[9] c.
Di-istinbath-kan dari yang qath’i, tapi penerapannya pada furu’ adalah zhanni.
Berdasarkan
uraian-uraian terdahu, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Imam Abu Hanifah menjadikan al- sunnah
sebagai hujjah dalam penetapan hukum-hukum syari’ah, dengan syarat, al-sunnah
itu diriwayatkan oleh orang- orang kepercayaan. Sedangkan khusus hadis ahad ia
persyaratkan, harus tidak bertentangan dengan kaedah yang telah disepakati oleh
ulama dan matan-nya tidak menyangkut soal-soal yang umum serta tidak
bertentangan dengan qiyas. Bahkan hadis mursal pun diterimanya jika tidak
bertentangan dengan al-Qur`an.
2. Imam Malik bin
Anas memegangi hadis sebagai hujjah, bukan hanya padahadis mutawatir, melainkan
juga pada hadis masyhur, hadis mursal dan hadis ahad; tetapi dengan syarat,
tidak bertentangan dengan Amalam Ulama Madinah.
3. Imam Idris
al-Syafi’i mendudukkan hadis ahad sebagai hujjah, jika hadis ahad itu
diriwayatkan oleh periwayat yang memenuhi kriteria dhabith. Demikian juga
halnya hadis mursal, ialah jika periwayatnya banyak berjumpa dengan sahabat dan
sanad- nya pun dapat dipercaya. Menurut Imam Syafi’i, posisi hadis mutawatir lebih
tinggi dari pada hadis ahad dan hadis mursal.
4. Imam Ahmad bin
Hanbal ber-hujjah dengan umumnya hadis, baik hadis mutawatir, hadis ahad, hadis
mursal maupun hadis dha’if. Ia pun men[10]dahulukan
hadis dfha’if dari pada qiyas.
Firman
Allah swt Q.S. Ali Imran/3: 32
ٓ
َ
٠ِشِفاَىٌْا
ُّةِحُ٠
َل
َ
َه㢟ّلل㢟
ْ
ه
ِئَف
ا
ْٛهٌ
ََٛذ
ْ
ْ
ِئَف
ي
َ
ُٛعهشٌا
َٚ
َه㢟ّلل㢟
اُٛؼ١
ِطَأ
ًُْل
“ Katakanlah! Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika
kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.
Menurut penjelasan ulama, ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa bentuk
ketaatan kepada Allah adalah dengan mematuhi petunjuk Alquran, sedang bentuk
ketaatan kepada Rasul saw. adalah dengan mengikuti sunnah beliau”.
Agar
kajian sunnah Nabi kembali menjadi ilmu primadona dan mempesona, maka teks
hadits yang memuat sunnah harus dibaca dan dipahami secara dinamis agar
memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk
itulah, maka kajian pemahaman dan penerapan sunnah Nabi di dunia modern ini
harus dikembangkan sesuai dengan tuntutan kekinian (dibaca dan dikaji secara
bayani, burhani dan irfani), karena dengan cara demikianlah sunnah atau hadits
diyakini mampu menjawab semua tantangan persoalan kontemporer di dunia modern. [12]
Selain berdasarkan
ayat-ayat Alquran di atas, kedudukan Sunnah ini jugadapat dilihat melalui
sunnah-sunnah Rasul saw. itu sendiri. Banyak Sunnah yang menggambarkan hal ini
dan menunjukkan perlunya ketaatan kepada perintahnya. Dalam salah satu
pesannya, bekenaan dengan keharusan menjadikan Sunnah sebagai pedoman hidup
selain Alquran, Rasul saw. Bersabda sebagai berikut;
)1323/ 5 ( - هٌاِ
أطِٛ
ٓ
ِ
ْ٠
َشِ
ْ
َأ
ُُْى١ِف
د
ُ
ْوَشَذ
ي
َ
اَل
ُ
َهٍَعَٚ
ِْٗ١ٍََػ
ُه㢟ّلل㢟
ٝهٍ
َص
ِه㢟ّلل㢟
ي
َ
ُٛعَس
هَْأ
َُٗغٍََت
ُٗهَٔأ
هٌِاَِ
ٓ
ْ
َػ
َِٟٕثهذ
َح
ٚ-
333 .ٗ
ِ
ِّ١ِثَٔ
َحهُٕعَٚ
ِه㢟ّلل㢟
ب
َ
اَرِو
اَِِّٙت
ُ
ُْرْىهغََّذ
اَِ
اٍُّٛ
ِضَذ
ٓ
ْ
ٌَ
“Telah menceritakan kepadaku dari Malik
bahwasannya dia menyampaikan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Aku tinggalkan
dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang kepada keduanya, nisacaya tidak
akan tersesat, yaitu kitab Allah (Alquran) dan Sunnah Rasul-Nya.” (H. R. Malik)”.
Dalam
kesempatan yang lain Rasul saw. Bersabda yang artinya;
“
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan
kepada kami al-Walid bin Muslim, telah menceritakan kepada kami Saur bin Yazid,
berkata dia, telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma‟dan,
berkata dia, telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin „Amr as-Sulamiy dan Hujr bin Hujr,
berkata keduanya datang kepada kami Al Irbad bin Sariah radhiallahuanhu dia
berkata : Rasulullah saw. memberikan kami nasehat yang membuat hati kami
bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata : Ya Rasulullah,
seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Rasulullah
saw. bersabda : “ Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta‟ala,
tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah
seorang budak. Karena diantara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan
banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan
ajaran Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan
kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan,
karena semua perkara bid’ah adalah sesat”.( H.R. Abu Daud).
Dengan petunjuk ayat-ayat dan sunnah Nabi
saw di atas, maka jelaslah bahwa sunnah Nabi Muhammad saw merupakan sumber atau
hujjah hukum Islam, selain Alquran. Orang yang menolak sunnah sebagai salah
satu hujjah hukum Islam berarti orang itu menolah petunjuk Alquran.
Dalam penjelasan
diatas telah dibahas tentang pembagian kualtias hadis secara umum, yang terbagi
pada hadis shahih, hadis hasan, dan hadis daif dan pembagian hadis menurut
kualitas, yang dibagi dalam ketiga bagian juga yaitu hadis mutawatir, hadis
ahad dan hadis mahsyur. Secara tegas dapatlah dikatakan disini bahwa hadis atau
as sunnah yang dapat dijadikan hujjah :
1. Darii segi kualtiasnya :
a.
Hadis shahih
b.
Hadis hasan
2. Dari segi
kualitasnya :
a.
Hadis mutawatir
b.
Hadis mahsyur
c. Hadis musnad[13]
D.Fungsi
Hadis untuk Al-qur’an
Ditinjau dari segi wuru>dnya (datangnya
dari wahyu), al-Qur’an mempunyai indikasi qat}’i (pasti), yakni tidak diragukan
lagi keber- adaannya sebagai wahyu Tuhan. Sebaliknya, al-Hadits, selain yang
mutawatir, mempunyai indikasi sebaliknya, d}anni, yakni kedata- ngannya dari
wahyu masih diperdebatkan karena sanad atau meka- nisme periwayatannya yang
masih belum konstan seperti halnya al- Qur’an. Atas dasar penyekatan seperti
ini para Ulama’ pada umum- nya lalu mengklasifikasi al-Qur’an sebagai sumber
ajaran pertama dan al-Hadits sebagai sumber kedua. Hierarki seperti ini juga
dilan- daskan pada beberapa bukti lain, di antaranya sejumlah hadits Nabi yang
menjelaskan bahwa urutan al-Hadits di bawah al-Qur’an. Hal ini seperti
tercermin dalam dua hadits berikut ini yang artinya:
1. Artinya:” Rasulullah SAW bersabda kepada Mu’adz bin Jabal: Bagaimana kamu akan
memutuskan perkara jika dihadapkan pada suatu persoalan hukum? Mu’adz menjawab:
saya akan memutuskannya berdasarkan kitab Allah (al-Qur’an). Rasulullah
bersabda: jika kamu tidak menjumpainya dalam al-Qur’an?. Mu’adz menjawab: maka
berdasarkan pada sunnah Rasul. Rasulullah bersabda: jika tidak menjumpainya
juga dalam sunnah Rasul? Muadz menjawab: saya akan berijtihad berdasarkan akal
pikiran saya”. (HR Imam Abu Dawud.)
2. Artinya:” Barangsiapa dihadapkan pada persoalan hukum setelah hari ini maka
hendaknya dia memutuskannya berdasarkan kitab Allah (al-Qur’an). Jika datang
persoalan yang tidak ada (jawabannya) dalam kitab Allah maka hendaknya
memutuskannya dengan apa yang pernah diputuskan Nabi Allah SAW”. (HR Imam
al-Turmudzi).
Pernyataan ini dilandaskan pada
kenyataan bahwa al-Hadits mempunyai fungsi menjabarkan secara lebih elaboratif
terhadap kandungan al-Qur’an yang masih kurang detail; merinci dan mem-
perjelas segala apa yang masih mujmal (berupa garis besar) dalam al-Qur’an;
membatasi sesuatu yang masih bersifat mut}laq; memberi- kan ketentuan khusus
terhadap kandungan al-Qur’an yang masih bersifat umum; menjabarkan
lafadz-lafadz al-Qur’an yang masih rumit (mausykil) maknanya; membentangkan
kandungan lafadz- lafadz al-Qur’an yang masih bersifat simpel (mujaz); serta
meng- analogikan dan mempersamakan kasus-kasus hukum lain dengan ketentuan
hukum al-Qur’an.
Secara hierarkis memang sudah menjadi
ungkapan umum bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama sedangkan
al-Hadits adalah sumber rujukan kedua. Urutan seperti ini dibuat untuk
keperluan para Mujtahid dalam merujuk sumber-sumber wahyu. Dalam aktivitas
istinbat} hukum, seorang Mujtahid mesti me- rujuk terlebih dahulu kepada
al-Qur’an sebelum menelusuri muatan hukum yang terdapat dalam beberapa hadits
nabi. Baru jika tidak menemukan sumber rujukan dalam al-Qur’an dia lalu beralih
kepada sumber kedua, hadits nabi.[14]
Ulama’ ushul fiqh
membagi fungsi al-Hadits terhadap al-Qur’an menjadi tiga kemungkinan, yaitu:
1. Al-Hadits
mempunyai fungsi memperkuat dan mengokohkan kembali apa yang pernah ditetapkan
al-Qur’an. Dengan demikian, kandungan hukum yang ditetapkan memiliki dua dalil
sekaligus, yaitu al-Qur’an sebagai penyampai pesan dan al-Hadits sebagai
penguat. Sebagai contoh adalah hadits nabi yang artinya:
Artinya:”Islam
dibangun atas lima (fondasi): persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain allah dan
sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan shalat, membayar zakat,
puasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukan
perjalanan ke sana”. (HR Imam Muslim).
Fungsi hadits ini tak lain memperkuat
apa yang sudah pernah difirmankan Allah dalam al-Qur’an berkaitan dengan
anjuran shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah. Hal ini
sebagaimana tercermin dalam ayat-ayat berikut yang artinya:
Artinya:” Dirikanlah olehmu shalat, bayarlah zakat dan ruku’lah bersama orang-
orang yang ruku”.( QS al-Baqarah (2): 43;)
2. Al-Hadits
berfungsi memberikan penafsiran dan penjabaran lebih konkret terhadap ketentuan
dalam al-Qur’an yang masih mujmal, yakni hanya mengatur persoalan secara garis
besarnya saja. Sebagai contoh adalah ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara soal
anjuaran shalat, zakat, dan haji di atas. Ayat-ayat tersebut berisi anjuran
secara global dan garis besarnya.
3. Al-Hadits memiliki
fungsi dan peran memunculkan hukum yang belum pernah diatur dalam al-Qur’an.
Seperti pengharaman mengumpulkan atau mengawini secara bersama-sama antara seorang
perempuan dengan bibinya, pengharaman makan daging binatang buas yang memiliki
taring, burung yang mempunyai kuku pencakar dan ketentuan-ketentuan hukum lain
yang hanya dijelaskan oleh al-Hadits namun tidak pernah disinggung oleh
al-Qur’anendetail dan aplikatif.
Fungsi al-Hadits ketiga ini memicu
perdebatan di kalangan para Ulama’, atau sekurang-kurangnya membelah sudut pan-
dang mereka dalam memaknai fungsi tersebut. Apa yang men- jadi ajang
perdebatan, adalah apakah al-Hadits dapat menetapkan ketentuan hukum secara
independen tanpa bergantung pada al- Qur’an? Ataukah sebaliknya, penetapan itu
juga mengacu pada al-Qur’an walaupun secara tidak langsung.
Sebagaimana uraian di
atas, terdapat nisbah (hubungan) antaraSunnah dengan AI-Qur'an dari segi materi
hukum, antara lain:
a. Menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah
ditetapkan hukum di dalam Al-Qur'an.
b. Memberikan keterangan ayat-ayat Al-Qur'an,
meliputi: I) Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal. 2) Membatasi kemutlakan. 3)
Mentakhsiskan keumumannya, 4) Menciptakan hukum baru yang tidak terdapat di dalam
Al? Qur'an.
Adapun dalil-dalil
yang menetapkan bahwa Sunnah menjadi hujjah bagi kaum Muslimin sebagai dasar
hukum adalah penjelasan Al-Qur'an, Sunnah, ijma sahabat, dan logika. Untuk
lebih jelasnya lagi berikut ini adalah beberapa tambahan penjelasan mengenai
Sunnah dalam hubungannya denganAI-Qur'an: a. Sebagai bayan tafsir, yaitu
menerangkan ayat-ayat secara umum, mujmal dan musytarak.
b. Sebagai bayan
taqrir, yaitu Sunnah berfungsi untuk memperkokoh ayat Al-Qur'an
c. Sebagai bayan
taudlih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat AI-Qur'an, seperti
pemyataan Nabi Saw. bahwa "Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya
menjadi baik harta-hartamu sesudah dizakati"
Sedang fungsi Sunnah sebagai sumber hukum
dan ajaran Islam, ditegaskan di dalam firman Allah yang artinya sebagai berikut:
Demi Tuhanmu (Muhammad) mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan engkau hukum dari perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu kebenaran terhadap putusan yang engkau
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS An-Nisa: 65).
Penjelasan di atas memiliki relevansi
dengan apa yang dikemukakan dengan kedudukan Sunnah atau Hadits Nabi Saw.Oleh ulama atsar yaitu sebagai penjelas clan
pemberi keterangan. Menurut mereka fungsi sunnah terhadap Al-Qur'an adalah:
a. Bayan tafthil; AI-Qur'an bersifat mujmal,
agar ia dapat difungsikan clan berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan
bagaimanapun maka diperlukan perincian oleh Hadits.
b. Bayan takhshish;
hadits/sunnah berfungsi selain menafsirkan Al-Qur'an, juga berfungsi memberikan
penjelasan tentang kekhususan-kekhususan ayat yang bersifat umum.
c. Bayan ta 'yin;
Hadits (Sunnah) Nabi Saw. berfungsi untuk menentukan mana yang dimaksud di
antara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan lapadzh-lapadzhmusytarak
dalam Al-Qur'an.
d. Bayan nasakh;
Hadits (Sunnah) berfungsi menjelaskan mana ayat yang me-nasakh (menghapus) dan
mana yang di-nasakh ( dihapus) yang secara lahiriah bertentangan. Fungsi bayan
ini seimg juga disebut bayan tabdil.
Dari berbagai penjelasan di atas, semakin
tegaslah bahwa mengikuti Sunnah merupakan suatu keharusan yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi dalam syari'at Islam. Akhimya melengkapi uraian, ini dapat
dilihat ayat-ayat Al-Qur'an tentang dasar hukum Sunnah, yang meliputi QS 68: 4;
33: 21; 21: 108; 34: 28; 7: 158; 3: 132; 4: 80; 59: 8; 3: 31; 4: 59; 6: 67; 33:
36; 24: 56; 4: 59; dan 65: 12; serta 4: 54.
DAFTAR
PUSTAKA
Dan, Kedudukan
As-sunnah, Tantangannya Dalam, and H Hairillah. “Kedudukan As-Sunnah Dan
Tantangannya Dalam Hal Aktualisasi Hukum Islam.” Mazahib XIV, no. 2
(1829): 193.
Dosen, Sulidar, Ilmu
Hadis, Fakultas Ushuluddin, Iain Su, Abstrak Jumhur Ulama, Kata Kunci, Islam
Pendahuluan Hadis, et al. “Urgensi Kedudukan Hadis Terhadap Alquran Dan
Kehujjahannya Dalam Ajaran Islam.” Analytica Islamica 2, no. 2 (2013):
339.
Kan, Mengistinbat, and
Hukum Isl. “Lihat Thalib Muhamad,.” Hukum Islam 2, no. 2 (2013): 9.
Muhammad, Nabi, and
Nabi Muhammad. “Kontekstualisasi Hadis Dalam Praktek Keagamaan Masyarakat
Global.” Analytica Islamica, no. Kontekstualisasi hadits (2014): 193–207.
Nasri, M, Hamang
Sekolah, Tinggi Agama, and Islam Negeri. “Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab
Empat.” Jurnal Hukum Diktum 9, no. 1 (2011): 97–98.
SODIKIN, R. ABUY. “Memahami
Sumber Ajaran Islam.” Alqalam 20, no. 98–99 (2003): 11,12,13.
https://doi.org/10.32678/alqalam.v20i98-99.633.
Solihin. “Penelitian
Hadis.” Ilmu Hadis 1, no. September (2016): 61–68.
Syariah, Fakultas, U I
N Maulana, Malik Ibrahim, and Malang Email. “Rekonstruksi Definisi Sunnah
Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman Hadits.” Ulul Albab 15, no. 1
(2014): 18.
Syariah, Fakultas,
Program Pascasarjana, U I N Sunan, and Ampel Surabaya. “OTORITAS AL SUNNAH
SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM Abu Azam Al Hadi (.” AKADEMIKA 8, no. 1
(2014): 46,47,48.
Yasid, Abu. “Hubungan
Simbiotik Al-Qur’an Dan Al-Hadits Dalam Membentuk Diktum-Diktum Hukum.” Tsaqafah
7, no. 1 (2011): 143,144,145. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v7i1.113.
[1]
R. ABUY SODIKIN, “Memahami Sumber Ajaran Islam,” Alqalam 20, no. 98–99 (2003): 11,12,13,
https://doi.org/10.32678/alqalam.v20i98-99.633.
[3]
Fakultas Syariah et al., “OTORITAS AL SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Abu Azam Al Hadi (,” AKADEMIKA 8, no.
1 (2014): 46,47,48.
[4]
Fakultas Syariah et al., “Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan
Kontekstualitas Pemahaman Hadits,” Ulul
Albab 15, no. 1 (2014): 18.
[5] Kedudukan As-sunnah Dan, Tantangannya Dalam, and H Hairillah, “Kedudukan
As-Sunnah Dan Tantangannya Dalam Hal Aktualisasi Hukum Islam,” Mazahib XIV, no. 2 (1829): 193.
[6] Nabi Muhammad and Nabi Muhammad, “Kontekstualisasi Hadis Dalam Praktek
Keagamaan Masyarakat Global,” Analytica
Islamica, no. Kontekstualisasi hadits (2014): 193–207.
[9] M Nasri et al., “Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhab Empat,” Jurnal Hukum Diktum 9, no. 1 (2011):
97–98.
[11]Sulidar Dosen et al., “Urgensi Kedudukan Hadis Terhadap Alquran Dan
Kehujjahannya Dalam Ajaran Islam,” Analytica
Islamica 2, no. 2 (2013): 339.
[12] Dan, Dalam, and Hairillah, “Kedudukan As-Sunnah Dan Tantangannya Dalam Hal
Aktualisasi Hukum Islam.”
[14]
Abu Yasid, “Hubungan Simbiotik Al-Qur’an Dan Al-Hadits Dalam Membentuk
Diktum-Diktum Hukum,” Tsaqafah 7, no.
1 (2011): 143,144,145, https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v7i1.113.
Komentar
Posting Komentar